PARADOKS KERUKUNAN DI ERA DIGITAL
Analisis Regresi Kebebasan Beragama, Politisasi Algoritma, dan Strategi Moderasi Beragama Struktural di Indonesia (2004–2025)
Oleh : Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
I. Pendahuluan Kritis: Mengkontekstualisasikan Paradoks Kerukunan Indonesia
1.1. Latar Belakang: Intoleransi sebagai Persoalan Struktural Pasca-Reformasi
Dinamika politik Indonesia sejak era Reformasi (sekitar 2004 hingga 2025) ditandai oleh kontradiksi tajam antara konsolidasi demokrasi prosedural di satu sisi dan regresi hak-hak sipil, khususnya Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), di sisi lain. Periode pasca-Orde Baru memicu kekacauan politik yang, tanpa diduga, melahirkan kekerasan berbasis sentimen agama dan etnis.1 Kelompok-kelompok keagamaan dan etnis melihat kesempatan untuk memanfaatkan ketidakpastian ini demi kepentingan politik mereka.1
Indonesia sering digambarkan sebagai model negara Muslim demokratis yang menjunjung pluralisme. Namun, laporan-laporan dari lembaga pemantau hak asasi manusia seperti SETARA Institute 2 dan Wahid Foundation 4 secara konsisten menyajikan data yang mengkhawatirkan mengenai tingginya kasus pelanggaran KBB. Intoleransi di Indonesia tidak lagi hanya merupakan konflik horizontal, melainkan telah bermetamorfosis menjadi persoalan struktural yang dilegitimasi melalui kebijakan dan pembiaran negara.
Tantangan ini semakin diperparah oleh revolusi digital. Intoleransi kini beroperasi di ruang siber, di mana fenomena post-truth dan disinformasi keagamaan 5 menjadi kekuatan pendorong polarisasi. Lingkungan digital ini, didominasi oleh logika algoritma, memperumit upaya pemeliharaan kerukunan dan kebebasan berkeyakinan.
1.2. Rumusan Masalah
Laporan ini bertujuan untuk memotret secara komprehensif masalah intoleransi di Indonesia dalam rangka menyambut Hari Toleransi Internasional 2025, dengan fokus pada empat isu utama:
- Menganalisis tren dan pola kausal politik identitas dan politisasi agama yang menyebabkan regresi KBB struktural selama dua dekade terakhir.
- Mengidentifikasi kontradiksi signifikan antara klaim optimis Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) Kementerian Agama (Kemenag) dan data empiris pelanggaran KBB (SETARA/Wahid), serta implikasi metodologisnya.
- Meneliti bagaimana politisasi algoritma (Kecerdasan Buatan/AI dan media sosial) memperburuk polarisasi afektif berbasis agama dan tantangan spesifik kebebasan berkeyakinan di ruang siber.
- Memberikan landasan pemikiran yang kuat dan rekomendasi strategis untuk mengintegrasikan Moderasi Beragama sebagai solusi struktural dan etika di ruang digital.
1.3. Kerangka Teoretis dan Metodologi
Untuk menganalisis fenomena ini, laporan ini menggunakan pendekatan sosiologi politik, yang menekankan peran aktor negara dan non-negara dalam mereproduksi diskriminasi.
Secara khusus, laporan ini mengadopsi teori Post-Truth dan Affective Binary Framework. Paradigma post-truth menunjukkan bagaimana fakta dan kebenaran objektif digantikan oleh keyakinan pribadi dan emosi yang kuat.5 Fenomena ini diperkuat oleh affective binary framework, sebuah konsep yang menggambarkan bagaimana narasi politik di ruang siber sering dikotomis—menciptakan oposisi “kita vs mereka”—untuk membangkitkan kemarahan atau solidaritas kelompok, yang sangat dieksploitasi dalam kampanye berbasis identitas.7
Metodologi yang digunakan adalah komparatif kritis, membandingkan data kuantitatif yang dihasilkan oleh pemerintah (IKUB Kemenag 8) dengan data longitudinal dari organisasi masyarakat sipil (Laporan KBB SETARA Institute 10 dan Wahid Foundation 4). Perbandingan ini krusial untuk mengidentifikasi missing link atau kesenjangan signifikan antara persepsi kerukunan yang diklaim secara makro dan realitas pelanggaran di tingkat akar rumput.
II. Dinamika Politik Identitas dan Politisasi Agama (2004–2025)
2.1. Politik Identitas sebagai Komoditas Politik Pasca-Reformasi
Pasca-Reformasi, politik identitas berkembang pesat di Indonesia, menjadi alat mobilisasi yang efektif dalam sirkulasi kekuasaan. Hal ini terjadi karena Reformasi, meskipun bertujuan menciptakan demokrasi, juga membuka ruang bagi munculnya kembali konflik komunal dan kekuatan-kekuatan keagamaan yang ingin mengambil untung dari kekacauan politik.1
Politik identitas di Indonesia beroperasi dalam tarik ulur antara nasionalisme dan agama.11 Meskipun ilmu politik secara umum memberikan kerangka teoritis, dalam konteks Indonesia, dinamikanya menjadi sangat kompleks, di mana faktor-faktor sosial dan masyarakat luas memicu pro dan kontra hingga berpotensi menimbulkan perpecahan.11 Secara khusus dalam pemilihan umum 12, politisasi agama sering digunakan untuk membatasi ruang politik bagi kelompok lain.
Analisis mendalam menunjukkan adanya dikotomi parah antara etika normatif agama dan praktik politik elektoral. Meskipun ajaran agama, seperti dalam Islam, secara tegas melarang adu domba, fitnah, manipulasi ayat (Q.S. al-Baqarah: 41), dan larangan mengolok-olok atau membenci kelompok lain (Q.S. al-Hujurat: 11) 13, para aktor politik identitas secara cerdik memisahkan moralitas spiritual dari pragmatisme politik. Agama direduksi menjadi alat mobilisasi dan legitimasi kekuasaan, bukan sebagai pedoman moral yang wajib menjamin keadilan bagi semua kelompok, termasuk yang tidak disukai (Q.S. al-Maidah: 8).13
2.2. Institusionalisasi Eksklusi melalui Regulatori
Dalam dua dekade terakhir, aktor politik identitas telah mengubah strategi dari kekerasan fisik yang berisiko politik menjadi penginstitusionalisasian diskriminasi melalui produk hukum diskriminatif (sering disebut legal violence).
Keberhasilan politik identitas tidak lagi diukur dari seberapa besar kekerasan komunal yang terjadi, melainkan dari seberapa efektif mereka berhasil menjadikan ideologi eksklusif sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan lokal. Hasilnya, institusi pemerintah daerah menjadi pelaku pelanggaran negara tertinggi.10 Hal ini menunjukkan bahwa ideologi pengecualian (ideology of exclusion) telah diadaptasi ke dalam birokrasi, di mana peraturan dan prosedur digunakan untuk membatasi hak-hak kelompok minoritas, sebuah kegagalan nyata dalam mewujudkan inclusive governance yang diserukan kepada Menteri Dalam Negeri.10
Regulasi diskriminatif yang existing atau statis ini terus menjadi pemicu inti intoleransi.14 Pola ini terbukti dalam lonjakan kasus Penodaan Agama pada tahun 2024, di mana aparat negara seperti Kejaksaan (10 tindakan) memainkan peran dalam kriminalisasi keyakinan, yang menunjukkan bahwa aktor negara tidak hanya membiarkan tetapi juga secara aktif mengaktifkan instrumen hukum yang problematik tersebut.10
III. Regresi KBB Struktural: Bukti Empiris SETARA Institute dan Wahid Foundation
3.1. Analisis Kuantitatif Regresi KBB 2024
Laporan SETARA Institute mengenai Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) tahun 2024 menunjukkan adanya tren regresi di tengah transisi kekuasaan, yang semakin mengkhawatirkan.10 Data kuantitatif memaparkan peningkatan signifikan dalam insiden intoleransi dibandingkan tahun sebelumnya.10
Jumlah peristiwa pelanggaran KBB meningkat signifikan dari 217 pada tahun 2023 menjadi 260 pada tahun 2024. Sementara itu, jumlah tindakan pelanggaran secara keseluruhan melonjak dari 329 pada tahun 2023 menjadi 402 pada tahun 2024.10 Peningkatan ini jelas mengindikasikan adanya kemunduran substansial dalam perlindungan hak-hak beragama dan berkeyakinan.
Lonjakan paling signifikan terjadi pada tindakan intoleransi yang dilakukan oleh aktor non-negara, yang melonjak hampir tiga kali lipat dari 26 kasus pada 2023 menjadi 73 kasus pada 2024. Pelaku utama pelanggaran non-negara didominasi oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan dengan 49 tindakan, diikuti oleh kelompok warga (40 tindakan).10 Pola ini menunjukkan adanya veto power of the mob di mana kelompok intoleran berhasil memobilisasi massa untuk menekan otoritas negara.
Konsistensi tingginya intoleransi ini juga ditegaskan oleh Wahid Foundation, yang secara rutin mendokumentasikan pelanggaran dan mendorong inisiatif seperti Sekolah Damai di tingkat masyarakat sipil.4
3.2. Institusionalisasi Diskriminasi: Peran Aktor Negara dalam Pelanggaran KBB
Analisis data 2024 mengungkapkan bahwa intoleransi bukan hanya masalah konflik horizontal, melainkan kegagalan vertikal dan kebijakan publik. Aktor negara bertanggung jawab atas 159 tindakan pelanggaran KBB dari total 402 tindakan.10
Tingginya angka ini membuktikan bahwa masalah intoleransi berakar pada kegagalan tata kelola daerah dan kebijakan publik. Institusi Pemerintah Daerah (Pemda) tercatat sebagai pelaku pelanggaran negara terbanyak dengan 50 tindakan, disusul oleh Kepolisian (30 tindakan) dan Satpol PP (21 tindakan).10 Ketika Pemda—otoritas yang seharusnya menjamin perizinan dan ketertiban—menjadi pelaku diskriminasi tertinggi, ini menunjukkan bahwa diskriminasi telah terlembaga ke dalam birokrasi dan digunakan untuk membatasi hak-hak minoritas, terutama terkait pendirian dan operasionalisasi tempat ibadah.10
Meskipun kasus gangguan pendirian dan operasionalisasi tempat ibadah secara spesifik menurun dari 65 kasus (2023) menjadi 42 kasus (2024) 10, hal ini tidak menunjukkan perbaikan struktural. Justru, hal ini mengindikasikan pergeseran fokus tekanan dari intimidasi fisik langsung ke diskriminasi birokrasi yang lebih terstruktur (dilakukan oleh Pemda) dan kriminalisasi hukum.
Peningkatan tajam terlihat pada kasus penggunaan Pasal Penodaan Agama, yang melonjak hampir dua kali lipat dari 15 kasus pada 2023 menjadi 42 kasus pada 2024.10 Kejaksaan menyumbang 10 tindakan terkait penuntutan pasal ini. Hal ini menegaskan bahwa instrumen hukum yang diskriminatif—variabel statis pemicu intoleransi—semakin diaktifkan oleh negara dan aktor non-negara (masyarakat menyumbang 29 kasus pelaporan), yang secara langsung menyerang forum internum (kebebasan berkeyakinan) individu.
Table 3: Tipologi Aktor Pelanggaran KBB Tahun 2024: Institusionalisasi Diskriminasi
| Kategori Aktor | Pelaku Utama (Jumlah Tindakan 2024) | Sifat Pelanggaran Dominan | Keterangan |
| Aktor Negara (Total 159 Tindakan) | Institusi Pemerintah Daerah (50) | Diskriminasi dan Prosedur Berbelit | Bukti kegagalan inclusive governance di tingkat lokal.10 |
| Kepolisian (30) | Pembiaran, Ancaman, atau Penegakan Hukum Selektif | Indikasi lemahnya penegakan keadilan yang imparsial.10 | |
| Kejaksaan (10) | Penggunaan Pasal Penodaan Agama | Peningkatan kriminalisasi keyakinan.10 | |
| Aktor Non-Negara (Total 243 Tindakan) | Ormas Keagamaan (49) | Mobilisasi Massa dan Intimidasi Fisik/Verbal | Veto power yang menekan kebijakan lokal. |
| Kelompok Warga (40) | Penolakan dan Ancaman | Manifestasi intoleransi akar rumput. | |
| MUI (21) | Fatwa atau Pernyataan yang Membatasi/Mendiskriminasi | Peran quasi-negara dalam membentuk narasi eksklusif. |
IV. Mengurai Paradoks: IKUB Kemenag vs. Realitas Akar Rumput
4.1. Metodologi dan Klaim Optimisme IKUB Kemenag
Kementerian Agama (Kemenag) merilis Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) yang berfungsi sebagai alat untuk menilai kondisi kerukunan di Indonesia, memantau kinerja teknis, dan memetakan potensi masalah.9 IKUB diukur berdasarkan tiga dimensi utama: Toleransi, Kesetaraan, dan Kerja Sama.9 Kemenag mengklaim bahwa IKUB tahun 2024 telah mencapai skor 76,47, menempatkannya dalam kategori “Cukup Harmonis”.8
Klaim optimisme ini, yang sering digunakan sebagai narasi keberhasilan pemerintah, secara efektif berfungsi sebagai political buffer bagi Kemenag, memberikan hasil positif yang dibutuhkan di tengah kritik internasional dan domestik mengenai pelanggaran KBB.
4.2. Kritik Metodologis dan Kesenjangan Kualitatif
Terdapat kontradiksi fundamental antara klaim IKUB Kemenag dan data pelanggaran KBB yang didokumentasikan oleh LSM. Kontradiksi ini berakar pada perbedaan metodologi dan apa yang sebenarnya diukur.
Beberapa pemerintah daerah, seperti Provinsi Jawa Barat—yang menempati posisi ketiga terbawah dalam survei 2019 dengan skor 68,5 16—meragukan metode penelitian Kemenag, menganggapnya gagal menangkap kompleksitas sosial, terutama di wilayah dengan populasi besar dan dampak isu politik nasional yang tinggi.16 Kekhawatiran utama adalah bahwa survei berbasis responden ini cenderung mengukur Social Desirability Bias, yakni kecenderungan responden memberikan jawaban yang ideal atau diterima secara sosial, alih-alih praktik nyata di lapangan.
Analisis mendalam terhadap IKUB mengungkapkan kesenjangan kualitatif yang substansial. IKUB cenderung mengukur koeksistensi pasif (hidup berdampingan tanpa konflik terbuka) daripada toleransi aktif (penerimaan sejati dan partisipasi). Hal ini didukung oleh temuan internal IKUB, di mana sub-variabel yang mengukur “bersedia ikut aktif dalam acara keagamaan orang lain” mendapatkan nilai yang mendekati level sangat rendah, yakni 1,83.17 Mayoritas responden yang berada di level indeks rendah atau sangat rendah berasal dari kelompok agama Islam (81% dari 95 responden dalam sampel tertentu).17 Skor rendah pada aspek partisipasi aktif ini menunjukkan bahwa kerukunan yang diukur oleh IKUB adalah rapuh dan rentan terhadap polarisasi karena masyarakat mayoritas cenderung mempertahankan batas sosial yang ketat.
Inkonsistensi antara IKUB dan realitas lapangan diperkuat oleh data SETARA 2024. Sulit untuk mempertahankan klaim kerukunan yang “Cukup Harmonis” ketika: (a) lonjakan tindakan intoleransi non-negara mencapai 73 kasus, dan (b) terjadi lonjakan tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh aparat negara (50 kasus Pemda).10 IKUB gagal menangkap kegagalan negara dalam menjamin dimensi Kesetaraan, salah satu dimensi ukurnya sendiri.9 Oleh karena itu, dibutuhkan metrik baru yang beralih dari mengukur persepsi (IKUB) ke mengukur tindakan dan konsekuensi hukum (KBB), terutama perlindungan hak-hak minoritas dari kriminalisasi.
Table 4: Komparasi Kritis: Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) Kemenag vs. Realitas KBB (2024)
| Dimensi IKUB (Kemenag) | Klaim Kemenag (2024) | Realitas KBB (SETARA 2024) | Kesenjangan Analitis |
| Toleransi 9 | Skor Nasional 76.47 8 | Lonjakan Intoleransi Non-Negara (73 kasus) 10 | IKUB gagal menangkap eskalasi aksi intoleran di lapangan. |
| Kesetaraan 9 | Cukup Harmonis | Lonjakan Diskriminasi Negara (50 kasus) & Blasphemy Law (42 kasus) 10 | Kegagalan perlindungan hukum dan struktural terhadap minoritas. |
| Kerja Sama 9 | Cukup Harmonis | Sub-variabel Partisipasi Aktif sangat rendah (1.83) 17 | Kerukunan yang berbasis koeksistensi pasif dan tidak resilient. |
4.3. Kontra-Narasi Kerukunan Lokal (Studi Kasus Alor-Pantar)
Berbeda dengan kerukunan pasif yang diukur IKUB, studi etnografi di beberapa wilayah, seperti Kepulauan Alor-Pantar, Nusa Tenggara Timur, menawarkan model kerukunan yang resilient. Masyarakat di sana berhasil menghindari konflik berbasis agama, bahkan saat konflik komunal melanda wilayah timur Indonesia pasca-Orde Baru, dengan mengandalkan tradisi lokal.18
Semboyan lokal Tara miti Tomi nuku (‘berbeda-beda tetapi satu bersaudara’) dan tradisi lisan lego-lego menjadi titik tekan bagaimana kearifan budaya berhasil menginstitusionalisasikan penghormatan dan interaksi antarumat beragama.18 Keberhasilan Alor-Pantar menunjukkan bahwa kerukunan yang kuat berakar pada nilai-nilai budaya yang dilembagakan secara sosial, bukan hanya kebijakan top-down. Model ini menyarankan agar strategi moderasi beragama nasional harus mengadopsi dimensi kultural yang lebih kuat, melampaui survei persepsi sederhana.
V. Ruang Siber sebagai Medan Pertempuran Ideologi Keagamaan
5.1. Politisasi Algoritma dan Polarisasi Afektif
Ruang siber telah menjadi elemen signifikan dalam membentuk identitas politik, terutama di kalangan generasi muda.19 Media sosial kini bukan hanya alat komunikasi politik, tetapi juga medan pertempuran ideologi yang dikuasai oleh kepentingan ekonomi.7
Studi menunjukkan bahwa algoritma platform media sosial berperan substansial dalam mengarahkan preferensi politik dan memperkuat afiliasi ideologis.19 Algoritma ini, yang didorong oleh kepentingan engagement dan keuntungan (disebut algorithmic marketing culture), secara inheren mendukung konten yang provokatif dan emosional.7 Hal ini secara otomatis memperkuat kerangka affective binary—narasi dikotomis “kita vs mereka”—yang membangkitkan kemarahan dan solidaritas dalam kelompok tertentu, memperdalam polarisasi politik berbasis identitas.7
Politisasi algoritma juga terlihat jelas dalam kampanye politik modern di Indonesia, di mana teknologi Kecerdasan Buatan (AI) digunakan untuk meningkatkan efisiensi komunikasi, menargetkan pemilih, dan melakukan content tailoring, bahkan untuk “membersihkan” sejarah politik kandidat.7 Hal ini memungkinkan disinformasi dan propaganda digital semakin terorganisir, baik oleh aktor negara maupun non-negara, yang pada akhirnya mempersempit ruang kebebasan berekspresi.
5.2. Ancaman AI dan Dinamika Post-Truth Keagamaan
Perkembangan AI menimbulkan risiko besar terhadap kebebasan berkeyakinan di ruang siber. AI memang menawarkan peluang besar untuk dakwah digital yang efisien dan mendistribusikan konten spiritual secara otomatis.22 Namun, ia juga membawa ancaman disinformasi dan konten yang memecah belah, terutama jika data pelatihan (training data) yang digunakan tidak mencerminkan keberagaman budaya dan bahasa, termasuk perspektif dari Global South.22 Jika AI hanya belajar dari narasi mayoritas yang eksklusif, ia berisiko mereplikasi dan memperkuat filter bubble, menggagalkan upaya kontra-narasi toleransi.
Institusi keagamaan dihadapkan pada tantangan post-truth, di mana keyakinan pribadi dan emosi lebih dominan daripada fakta.5 Praktik politik post-truth, yang mengandung propaganda dan ujaran kebencian, telah menstimulasi sentimen terhadap kelompok-kelompok sosial keagamaan.6 Fenomena ini, yang memicu kembali narasi Islamofobia, terlihat pada semakin meningkatnya benturan dan praktik intoleransi keagamaan, di mana kelompok mayoritas melakukan intoleransi terhadap minoritas.6
Selain itu, munculnya AI sebagai sumber jawaban teologis menimbulkan krisis otoritas keagamaan. AI mungkin mampu menjelaskan persoalan teologis dengan narasi yang meyakinkan, namun ia kekurangan dimensi spiritualitas dan makna yang hanya dapat dialami oleh hati manusia.23 Jika masa depan spiritualitas diatur oleh algoritma, ini dapat menghasilkan interpretasi agama yang dangkal atau dogmatis, yang rentan dieksploitasi oleh kelompok eksklusif dalam konteks politik identitas. Masa depan spiritualitas harus ditentukan oleh manusia yang mampu menjadikan teknologi sebagai jalan menuju pencerahan, bukan keterasingan.23
VI. Solusi Terintegrasi: Rekomendasi Moderasi Beragama di Ruang Publik dan Siber
6.1. Reformasi Tata Kelola KBB: Dari Moderasi Naratif ke Moderasi Struktural
Mengingat bahwa intoleransi telah menjadi masalah struktural yang dilembagakan oleh aktor negara, strategi Moderasi Beragama Kemenag 24 harus diperluas dari fokus naratif/edukatif menjadi moderasi struktural.
Pertama, harus ada akselerasi agenda pemajuan toleransi melalui penegakan inclusive governance di tingkat daerah. Presiden dan Menteri Dalam Negeri harus memastikan diterbitkannya kebijakan khusus yang menindaklanjuti kegagalan tata kelola Pemda.10 Strategi Penguatan Moderasi Beragama Kemenag 25 harus diiringi dengan sanksi tegas bagi institusi Pemda yang terbukti menjadi pelaku diskriminasi tertinggi (50 tindakan pada 2024).10
Kedua, solusi struktural memerlukan peninjauan dan penghapusan produk hukum yang diskriminatif. Laporan SETARA Institute telah lama mengidentifikasi produk hukum diskriminatif yang existing sebagai variabel statis pemicu intoleransi.14 Peninjauan kembali atau penghapusan Pasal Penodaan Agama dan regulasi sejenis adalah prasyarat fundamental untuk meningkatkan dimensi Kesetaraan dalam kerukunan nasional.
6.2. Strategi Moderasi Beragama di Ruang Siber (Digital Ethics)
Moderasi Beragama harus beradaptasi dengan tantangan ruang siber.26 Kebijakan ini harus terintegrasi ke dalam sistem peringatan dini sosial-politik digital untuk mengantisipasi mobilisasi identitas berbasis AI.
- Literasi Media dan Edukasi Kritis: Fokus utama harus beralih ke peningkatan literasi media dan edukasi digital.5 Masyarakat harus didorong untuk mengembangkan kemampuan kritis dalam menghadapi hoax, disinformasi, dan kebenaran yang berorientasi pada keyakinan pribadi daripada fakta.5
- Pemanfaatan AI untuk Kontra-Narasi Inklusif: AI harus dimanfaatkan secara strategis untuk mengidentifikasi dinamika publik dan menghasilkan kontra-narasi perdamaian dan toleransi yang didistribusikan secara otomatis melalui berbagai platform.22 Namun, keberhasilan ini bergantung pada penggunaan data pelatihan yang mencerminkan keberagaman budaya dan bahasa, termasuk perspektif Global South, agar tidak mereplikasi hegemoni narasi kelompok mayoritas.22
- Etika AI Keagamaan: Lembaga agama dan akademisi perlu merumuskan pedoman etis yang ketat mengenai penggunaan AI.23 Pengguna media sosial perlu didorong untuk memainkan peran sebagai agen intelektual digital yang mampu menavigasi medan pertempuran ideologi dan mempromosikan dialog deliberatif yang sehat.7
6.3. Penyelarasan Indikator Kerukunan (IKUB Baru)
IKUB Kemenag saat ini, yang rentan terhadap Social Desirability Bias dan cenderung mengukur kerukunan pasif, memerlukan reformasi.
Pertama, Kemenag perlu melakukan audit metodologi IKUB, memasukkan indikator KBB yang diukur oleh LSM (kekerasan, diskriminasi hukum, kriminalisasi keyakinan) sebagai variabel korelatif wajib. Hal ini memastikan bahwa klaim kerukunan tidak mengabaikan realitas struktural pelanggaran.
Kedua, perlu dikembangkan indeks baru—disebut Indeks Toleransi Digital (DIKUB)—yang secara spesifik mengukur kesehatan ruang siber keagamaan. Indeks ini harus menilai tingkat disinformasi, polarisasi afektif, efektivitas kontra-narasi, dan tingkat serangan terhadap kebebasan berkeyakinan di dunia maya.26
VII. Penutup dan Agenda Penelitian Selanjutnya
7.1. Kesimpulan Kunci
Menjelang Hari Toleransi Internasional 2025, Indonesia menghadapi paradoks kerukunan yang semakin akut. Meskipun pemerintah mengklaim indeks kerukunan yang relatif tinggi (IKUB 76,47), data empiris (SETARA Institute) mengonfirmasi adanya regresi KBB struktural pada tahun 2024, ditandai dengan peningkatan signifikan dalam jumlah tindakan (402) dan peristiwa (260) pelanggaran. Intoleransi tidak lagi bersifat insidental, melainkan terinstitusionalisasi, di mana Pemerintah Daerah menjadi pelaku diskriminasi negara tertinggi (50 tindakan) dan Pasal Penodaan Agama semakin diaktifkan (42 kasus).
Di ruang siber, politisasi algoritma memperkuat affective binary framework, mengubah media sosial menjadi ruang yang memecah belah dan memperburuk politik identitas post-truth.
Oleh karena itu, kebijakan Moderasi Beragama harus bertransformasi dari pendekatan naratif-edukatif menjadi Moderasi Struktural yang menuntut akuntabilitas negara di tingkat lokal dan mereformasi regulasi diskriminatif.
7.2. Rekomendasi Kebijakan
- Reformasi Tata Kelola Inklusif: Kementerian Dalam Negeri harus memastikan penegakan inclusive governance dan memberikan sanksi tegas kepada Pemda yang menggunakan prosedur birokrasi untuk membatasi hak-hak minoritas, seperti yang ditunjukkan oleh 50 tindakan diskriminatif yang mereka lakukan pada tahun 2024.
- Penghapusan Variabel Statis: Pemerintah dan DPR harus meninjau kembali dan menghapus produk hukum yang terbukti menjadi variabel statis pemicu diskriminasi dan kriminalisasi keyakinan, terutama Pasal Penodaan Agama.
- Etika Digital dan AI: Mengembangkan kerangka etika AI yang spesifik untuk konten keagamaan Indonesia dan memprioritaskan pembangunan digital literacy untuk melawan disinformasi dan polarisasi afektif yang didorong oleh algoritma.
7.3. Agenda Penelitian Selanjutnya
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, penelitian selanjutnya direkomendasikan untuk fokus pada:
- Penelitian longitudinal komparatif mendalam mengenai pola kausalitas antara siklus politik elektoral (Pileg/Pilpres) dan fluktuasi data pelanggaran KBB dari Wahid Foundation dan SETARA Institute dalam rentang 2004 hingga 2025.
- Pengembangan dan validasi model Indeks Toleransi Digital (DIKUB) yang berbasis pada data siber (misalnya, analisis sentimen skala besar, dan pengukuran echo chambers) untuk melengkapi Indeks Kerukunan Kemenag.
- Studi etnografi mengenai dampak nyata polarisasi algoritmik terhadap kohesi sosial dan praktik kerukunan di tingkat komunitas akar rumput.
Karya yang dikutip
- Buku Laporan Riset Intoleransi Dan Radikalisme Di 4 Wilayah Wahid Institute Web – Scribd, diakses November 16, 2025, https://id.scribd.com/document/346162228/Buku-Laporan-Riset-Intoleransi-Dan-Radikalisme-Di-4-Wilayah-Wahid-Institute-Web
- KONDISI KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN (KBB) 2024 | Setara Institute, diakses November 16, 2025, https://setara-institute.org/kondisi-kebebasan-beragamaberkeyakinan-kbb-2024/
- SETARA INSTITUTE CATAT 329 PELANGGARAN KBB SEPANJANG 2023, diakses November 16, 2025, https://setara-institute.org/setara-institute-catat-329-pelanggaran-kbb-sepanjang-2023/
- Intoleransi Masih Tinggi, Wahid Foundation Gandeng Media dan Kesbangpol Jateng Gerakkan Sekolah Damai, diakses November 16, 2025, https://wahidfoundation.org/news/detail/Intoleransi-Masih-Tinggi-Wahid-Foundation-Gandeng-Media-dan-Kesbangpol-Jateng-Gerakkan-Sekolah-Damai
- DINAMIKA HOAX, POST-TRUTH DAN RESPONSE READER CRITICISM, diakses November 16, 2025, https://jurnalfuf.uinsa.ac.id/index.php/religio/article/view/1310/1117
- Post-truth and Islamophobia narration in the contemporary Indonesian political constellation, diakses November 16, 2025, https://ijims.iainsalatiga.ac.id/index.php/ijims/article/view/4345
- Dinamika Media Sosial dalam Politik Asia Tenggara: Antara Demokratisasi dan Manipulasi Algoritmis – UIN Sunan Gunung Djati Bandung, diakses November 16, 2025, https://uinsgd.ac.id/dinamika-media-sosial-dalam-politik-asia-tenggara-antara-demokratisasi-dan-manipulasi-algoritmis/
- Indeks Kerukunan Umat Beragama 2024 Naik Jadi 76,47 – Kementerian Agama, diakses November 16, 2025, https://kemenag.go.id/nasional/indeks-kerukunan-umat-beragama-2024-naik-jadi-76-47-wG2qs
- Data Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) Provinsi Banten – LUMBUNG DATA, diakses November 16, 2025, https://lumbungdata.bantenprov.go.id/data-indeks-kerukunan-umat-beragama-ikub/
- REGRESI DI TENGAH TRANSISI – Setara Institute, diakses November 16, 2025, http://setara-institute.org/wp-content/uploads/2025/05/Rilis-Data-KBB-2024-2.pdf
- MARAKNYA PENGARUH KOMPLEKS POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA – Journal UII, diakses November 16, 2025, https://journal.uii.ac.id/khazanah/article/download/24750/14116/83817
- Politik agama di Indonesia: politisasi agama Islam dalam kontestasi pemilihan umum, diakses November 16, 2025, https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/71424
- Membendung Politisasi Agama | Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah – UIN Jakarta, diakses November 16, 2025, https://graduate.uinjkt.ac.id/id/membendung-politisasi-agama
- Intoleransi Semasa Pandemi, diakses November 16, 2025, https://base.api.k-hub.org/assets/Organisasi/42040221/files/SETARA_Institute-Laporan_KBB_2020_Setara_Institute_4.pdf
- Indeks Kerukunan Nasional Cukup Harmonis, diakses November 16, 2025, https://kemenag.go.id/read/indeks-kerukunan-nasional-cukup-harmonis-kego1
- Posisi Tiga Terbawah, Jabar Gugat Metode Indeks Kerukunan – VOA Indonesia, diakses November 16, 2025, https://www.voaindonesia.com/a/posisi-tiga-terbawah-jabar-gugat-metode-indeks-kerukunan/5227722.html
- MENGUKUR INDEKS KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI KABUPATEN KONAWE SELATAN Measuring Index of Harmonious Inter Religion Relation – Jurnal Al-Qalam, diakses November 16, 2025, https://jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqalam/article/download/196/179/379
- MASYARAKAT INDONESIA – ejournal brin, diakses November 16, 2025, https://ejournal.brin.go.id/jmi/article/download/8327/6374/22474
- Media Sosial Sebagai Sarana Pembentukan Identitas Politik Pemuda – LPKD, diakses November 16, 2025, https://journal.lpkd.or.id/index.php/Humif/article/download/2023/2356/10488
- Polarisasi Algoritmik Kohesi Urban Indonesia, Sosiological-Kultural Pengguna Media Sosial – Universitas Muhammadiyah Jakarta, diakses November 16, 2025, https://umj.ac.id/opini/polarisasi-algoritmik-kohesi-urban-indonesia-sosiological-kultural-pengguna-media-sosial/
- Analisis Terhadap Peran dan Signifikansi AI dalam Komunikasi Politik 2024 di Indonesia, diakses November 16, 2025, https://ejournal.unia.ac.id/index.php/hudanlinnaas/article/download/1860/1226
- AI dan Media Religius: Antara Peluang Dakwah Digital dan Ancaman Disinformasi, diakses November 16, 2025, http://pjminews.com/berita/detail/ai-dan-media-religius-antara-peluang-dakwah-digital-dan-ancaman-disinformasi
- Agama dan Kecerdasan Buatan (AI) di Persimpangan Zaman | Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, diakses November 16, 2025, https://fisip.uinjkt.ac.id/id/agama-dan-kecerdasan-buatan-ai-di-persimpangan-zaman
- Agenda Strategis Penguatan Harmoni Bangsa melalui Kebijakan Moderasi Beragama, diakses November 16, 2025, https://kemenag.go.id/opini/agenda-strategis-penguatan-harmoni-bangsa-melalui-kebijakan-moderasi-beragama-nxBw6
- Kritik Terhadap Strategi Penguatan Moderasi Beragama Kementerian Agama: Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough, diakses November 16, 2025, http://digilib.uinsa.ac.id/64320/2/Hafid%20Budi%20Cahyono_E91219077%20OK.pdf
- Moderasi Beragama Menuju Kerukunan Bersama di Ruang Siber – – detik-news, diakses November 16, 2025, https://detik-news.com/2025/10/23/moderasi-beragama-menuju-kerukunan-bersama-di-ruang-siber/
- PERAN TEKNOLOGI DAN MEDIA SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN BUDAYA TOLERANSI DAN MENCIPTAKAN PERDAMAIAN 1. Mahasiswa S1, Institut Agama, diakses November 16, 2025, https://journal.uho.ac.id/index.php/JPeB/article/download/1054/456/3430
Author Profile

Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Dr. Dharma Leksana is a theologian, senior journalist, and pioneer of digital Christian media in Indonesia. He earned his Bachelor of Theology from the Faculty of Theology, Duta Wacana Christian University, Yogyakarta, in 1994, before pursuing a Master of Social Sciences (M.Si.) with a focus on media and society. He later completed a Master of Theology (M.Th.) with a thesis titled “Digital Theology: Translating the Missiology of the Church in the Era of Society 5.0.”
His academic journey reached its pinnacle with a Doctorate in Theology (D.Th.) from Dian Harapan Theological Seminary, Jakarta, graduating cum laude. His groundbreaking dissertation, “Algorithmic Theology: A Conceptual Map of Faith in the Digital Age,” introduced the concept of Algorithmic Theology as a new locus for contextualizing faith in today’s digital reality. Through this research, he argued that algorithms can be understood as a new locus theologicus, while the Logos—the Word of God—remains the central axis of Christian faith, even in an age dominated by algorithmic logic.
This dissertation has since been published in two editions:
- Teologi Algoritma: Peta Konseptual Iman di Era Digital (Indonesian)
- Algorithmic Theology: A Conceptual Map of Faith in the Digital Age (English)
His earlier academic work at the master’s level has also been published as “Building the Kingdom of God in the Digital Age.”
Beyond academia, Dr. Leksana is a prolific writer who has authored hundreds of works ranging from scholarly research and popular books to collections of poetry and novels. His writings can be found through PWGI Bookstore and other platforms.
Organizational and Media Leadership
In the field of media and ecclesial service, Dr. Leksana is:
- Founder and Chairman of the Indonesian Church Journalists Association (PWGI)
- Founder of numerous Christian digital media outlets, including:
- wartagereja.co.id
- beritaoikoumene.com
- teologi.digital
- marturia.digital
- and many more under PT Dharma Leksana Media Group (DHARMAEL), where he serves as Commissioner
He also leads and advises several institutions and companies, including:
- Director of PT Berita Siber Indonesia Raya (BASERIN)
- Commissioner of PT Berita Kampus Mediatama
- Commissioner of PT Media Kantor Hukum Online
- Founder & CEO of tokogereja.com
- Chairman of Yayasan Berita Siber Indonesia
- Director of PT Untuk Indonesia Seharusnya
Works and Influence
As both a thinker and practitioner, Dr. Dharma Leksana positions himself as a bridge between theology, digital communication, and social transformation. He is an active writer, speaker, and resource person in church, academic, and media forums.
Among his widely read works are:
- Seeking the Face of God in the Digital Wilderness
- The Missionary Steps of the Early Church
- Religion, AI, and Pluralism
- Edmund Husserl’s Phenomenology in the Digital Era
- Alvin Toffler and Digital Theology
- The Algorithm of God: Reflections on the Programmer of the Universe
- Prophetic Journalism in the Digital Age
- Digital Theology through the Lens of Dietrich Bonhoeffer’s Ethics
Continuing his vocation as a digital theologian, prophetic journalist, and faith educator, Dr. Leksana remains committed to building Christian communication that is contextual, transformative, and attuned to the challenges of the digital age.
