
Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Abstrak
Demonstrasi sebagai bentuk ekspresi publik kerap dipahami dalam konteks politik atau sosial. Namun, dalam tradisi Kekristenan, demonstrasi atau protes juga memiliki dimensi teologis, yaitu sebagai bentuk kesaksian iman terhadap kebenaran dan penolakan terhadap ketidakadilan.
Artikel ini menelaah konsep demonstrasi dari perspektif Alkitab, refleksi para teolog dan filsuf Kristen, serta relevansinya dalam era digital.
Analisis ini menunjukkan bahwa demonstrasi dalam Kekristenan dapat dipandang sebagai tindakan profetik yang berakar pada kasih, kebenaran, dan politik Kerajaan Allah, dengan syarat tetap mengedepankan non-kekerasan dan etika Injili.
Pendahuluan
Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan fenomena sosial-politik yang diakui dalam masyarakat demokratis. Akar katanya dari bahasa Latin demonstrare, yang berarti “menunjukkan secara terang.” Dalam kerangka teologi Kristen, demonstrasi bukan sekadar aspirasi politik, melainkan juga sarana profetik untuk menghadirkan kebenaran Allah dalam dunia yang sarat ketidakadilan.
Pertanyaan penting yang perlu dijawab: Bagaimana Alkitab dan tradisi teologis memandang protes? Apakah demonstrasi sesuai dengan etika Kristen? Dan bagaimana relevansinya di era digital?
Demonstrasi dalam Perspektif Alkitab
Alkitab tidak mengenal istilah modern “demonstrasi,” tetapi menampilkan praktik perlawanan terhadap ketidakadilan yang dapat dipahami sebagai bentuk protes.
- Tradisi Nabi
Para nabi Israel secara terbuka mengecam praktik penindasan dan korupsi. Amos, misalnya, menyerukan: “Hendaklah keadilan bergulung-gulung seperti air, dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am. 5:24).^1 Kritik profetik ini adalah bentuk demonstrasi moral melawan penyalahgunaan kuasa. - Yesus Kristus
Yesus menegur dengan keras kemunafikan religius (Mat. 23) dan melakukan aksi simbolik dengan mengusir pedagang dari Bait Allah (Yoh. 2:13–16). Tindakan Yesus ini dapat dipahami sebagai performative protest, yakni perlawanan profetik terhadap penyalahgunaan kesalehan demi keuntungan ekonomi.^2 - Para Rasul
Pernyataan Petrus: “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5:29) menegaskan prinsip protes iman terhadap otoritas yang bertentangan dengan Injil.
Perspektif Teolog dan Filsuf Kristen
Sejumlah teolog dan filsuf menegaskan nilai protes dalam Kekristenan:
- Agustinus menggarisbawahi ketegangan antara civitas Dei dan civitas terrena, di mana kesetiaan kepada Allah menuntut kritik terhadap sistem dunia yang rusak.^3
- Martin Luther dengan 95 dalilnya (1517) menunjukkan bagaimana protes iman dapat melahirkan transformasi gereja dan masyarakat.^4
- Dietrich Bonhoeffer menekankan pentingnya civil courage dalam menghadapi rezim Nazi, dengan protes iman yang siap menanggung risiko penderitaan.^5
- Martin Luther King Jr. menegaskan bahwa aksi non-kekerasan adalah bentuk demonstrasi iman yang paling selaras dengan Injil kasih, sekaligus efektif dalam memperjuangkan keadilan sosial.^6
Demonstrasi di Era Digital
Era digital mengubah wajah demonstrasi. Media sosial memungkinkan mobilisasi cepat melalui kampanye daring, petisi, dan tagar. Bagi umat Kristen, ini menghadirkan peluang kesaksian baru sekaligus bahaya etis:
- Kesempatan: menyuarakan solidaritas global, menentang intoleransi, dan memperluas ruang advokasi Injil.
- Tantangan: risiko penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial.
Etika Kristen menuntut bahwa demonstrasi digital tetap dijalankan dengan roh kasih, kebenaran, dan integritas, bukan dengan kekerasan verbal atau manipulasi informasi.
Relevansi Demonstrasi dengan Etika Kristen
Etika Kristen dapat dirumuskan dalam prinsip-prinsip berikut:
- Non-Kekerasan
Mengikuti teladan Kristus (Mat. 5:44), protes Kristen menolak kekerasan fisik maupun verbal. - Kebenaran dan Keadilan
Kesaksian Kristen berorientasi pada pembelaan terhadap yang tertindas (Mi. 6:8). - Ketaatan yang Kritis
Roma 13 mengajarkan hormat kepada pemerintah, namun tidak mutlak. Kis. 5:29 memberi dasar bagi ketidaktaatan profetik ketika negara bertentangan dengan kehendak Allah.^7 - Kesaksian Kontra-Budaya
Hidup dalam kasih, kejujuran, dan solidaritas adalah protes sehari-hari terhadap nilai duniawi yang mematikan.
Kesimpulan
Demonstrasi dalam Kekristenan dapat dipahami sebagai tindakan profetik, berakar pada tradisi nabi, pelayanan Kristus, dan kesaksian gereja sepanjang sejarah. Di era digital, demonstrasi menghadapi tantangan etis baru, namun tetap relevan sebagai sarana menghadirkan kebenaran Kerajaan Allah. Dengan berpegang pada prinsip kasih, kebenaran, dan non-kekerasan, umat Kristen dipanggil untuk menjadikan protes sebagai kesaksian iman yang hidup.
Daftar Pustaka
- Brueggemann, Walter. The Prophetic Imagination. Minneapolis: Fortress Press, 2001.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Minneapolis: Fortress Press, 1996.
- Augustine. The City of God. Translated by Henry Bettenson. London: Penguin Classics, 2003.
- Luther, Martin. Disputation on the Power and Efficacy of Indulgences (The 95 Theses). 1517.
- Bonhoeffer, Dietrich. Ethics. New York: Simon & Schuster, 1995.
- King, Martin Luther Jr. Strength to Love. Philadelphia: Fortress Press, 1981.
- Hauerwas, Stanley. The Peaceable Kingdom: A Primer in Christian Ethics. Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1983.
Kata Kunci: #demonstrasi, #Kekristenan, #etika, #Alkitab, #politik Kerajaan Allah
Profil Penulis
Dharma Leksana, S.Th., M.Si.

Ia juga menjabat sebagai:
• Direktur PT. Berita Siber Indonesia Raya (PT BASERIN)
• Komisaris PT. Berita Kampus Mediatama
• Komisaris PT. Media Kantor Hukum Online
• Pendiri dan CEO Marketplace tokogereja.com
• Ketua Umum Yayasan Berita Siber Indonesia
• Direktur PT. Untuk Indonesia Seharusnya
Sebagai pemikir dan pelaku, Dharma Leksana berkiprah sebagai jembatan antara dunia teologi, pewartaan digital, dan transformasi sosial. Ia aktif menulis buku, artikel, serta menjadi pembicara di berbagai forum gereja, media, dan akademik.