Heroisme Tanpa Panggung: Pahlawan dalam Keheningan Algoritma
Oleh : Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Abstrak
Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November mengingatkan bangsa Indonesia pada semangat perjuangan rakyat Surabaya pada tahun 1945 yang berjuang tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan pengakuan publik. Dalam era digital saat ini, makna kepahlawanan mengalami perubahan signifikan karena ruang sosial semakin diatur oleh algoritma yang menonjolkan visibilitas dan performativitas.
Artikel ini mengkaji bagaimana nilai kepahlawanan dapat dipahami ulang dalam lanskap digital, dengan menyoroti pentingnya tindakan sosial yang tidak bergantung pada sorotan publik.
Melalui pendekatan reflektif-analitis, tulisan ini mengangkat konsep “pahlawan dalam keheningan algoritma”: sosok yang bekerja senyap, tetapi konsisten merawat kemanusiaan di tengah arus informasi yang cepat. Kepahlawanan, dalam konteks ini, tidak lagi bergantung pada monumentalitas tindakan, tetapi pada ketekunan menjaga kebenaran, solidaritas, dan persatuan.
Kata Kunci: Hari Pahlawan, era digital, heroisme, algoritma, literasi digital.
Pendahuluan
Hari Pahlawan berakar pada peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945, ketika rakyat menolak ultimatum Sekutu untuk menyerah.^1 Pertempuran itu menjadi simbol keberanian kolektif dan pengorbanan tanpa syarat. Bung Tomo dengan lantang menyerukan bahwa “selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan menyerah kepada siapapun juga!”^2
Semangat itu lahir di medan yang sunyi dari kamera, sunyi dari perhitungan citra. Heroisme ketika itu adalah tindakan untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.
Namun, dalam era digital, ruang sosial dimediasi oleh algoritma yang menentukan apa yang terlihat dan apa yang tidak. Yang tampak dianggap penting; yang sunyi dianggap tidak relevan.
Heroisme dan Pergeseran Makna
Dalam tradisi Indonesia, pahlawan bukan hanya figur yang mengangkat senjata, tetapi siapapun yang mengutamakan kepentingan kolektif di atas egonya. Namun budaya digital kini mendorong logika performativitas. Byung-Chul Han menyebut era digital sebagai “society of exhibition, where the value of the self is measured by its visibility.”^3
Kebaikan yang tidak terlihat sering dianggap kurang bernilai.
Lalu muncul pertanyaan etis penting:
Apakah kebaikan yang sunyi tetap bernilai di masyarakat yang mengukur segalanya dari hasil tampil?
Artikel ini menjawab: ya — dan justru di situ letak nilai kepahlawanannya.
Algoritma dan Intervensi Ruang Publik
Ruang publik digital bukan lagi netral. Algoritma media sosial mempromosikan konten yang memicu keterlibatan emosional tinggi—amarah, sensasi, konflik.^4
Sebaliknya, konten edukasi, empati, atau reflektif sering tertutup.
Akibatnya:
- Narasi perpecahan lebih terdorong daripada persatuan.
- Ketulusan kalah oleh pencitraan.
- Solidaritas sunyi tidak terbaca sistem.
Heroisme tidak hilang, tetapi tertindih pola amplifikasi algoritmik.
Pahlawan dalam Keheningan Algoritma
Pahlawan hari ini tidak selalu berada di podium publik. Mereka berada di:
- Komunitas literasi digital, mengajarkan orang tua membedakan hoaks dari fakta.
- Forum dialog antaragama yang menjaga ruang percakapan tetap manusiawi.
- Jaringan relawan sosial yang menolong tanpa mengunggah dokumentasi.
- Ruang pendidikan, di mana guru bertahan mendidik generasi yang gelisah informasi.
- Lingkup riset dan arsip sejarah, menjaga ingatan kolektif bangsa agar tidak terhapus.
Mereka bekerja tanpa tepuk tangan.
Tidak viral.
Tidak trending.
Namun hadir — dan kehadiran itu menyelamatkan.
Seorang relawan pernah berkata: “Jika tidak ada yang tahu, bukan berarti tidak ada yang berarti.”^5
Kata-kata ini mengandung inti heroisme digital: kesetiaan, bukan panggung.
Redefinisi Heroisme
Kepahlawanan di era digital perlu dipahami sebagai:
| Nilai 1945 | Nilai di Era Digital (Redefinisi) |
| Pengorbanan fisik | Pengorbanan kenyamanan diri |
| Medan perang fisik | Medan perang narasi dan informasi |
| Kebersamaan komunal | Perawatan ruang dialog dan empati |
| Heroisme monumental | Heroisme keseharian, konsisten & senyap |
Heroisme hari ini adalah laku kecil yang diulang, bukan tindakan besar sesaat.
Kesimpulan
Era digital memang menggeser cara kita melihat pahlawan — namun tidak menghapus nilainya. Pahlawan dalam keheningan algoritma adalah mereka yang tetap memilih kebaikan ketika dunia lebih mudah memilih acuh. Mereka menjaga kemanusiaan tetap utuh, percakapan tetap waras, dan persatuan tetap mungkin.
Mereka tidak menunggu panggung.
Dan mungkin, di situlah letak ketulusan yang sejati.
Catatan Kaki
- Fakultas Hukum UMSU. Pertempuran Surabaya 10 November 1945: Sejarah, Tujuan, dan Tokohnya (2024).
- Pidato Bung Tomo, Surabaya, 10 November 1945 (rekaman arsip).
- Han, B.-C. Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power (2017), hlm. 23.
- Tufekci, Z. Twitter and Tear Gas (2018), hlm. 51–60.
- Wawancara lapangan relawan bencana Lombok (2018).
Daftar Pustaka (APA 7th)
Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and new technologies of power. Verso.
Tufekci, Z. (2018). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale University Press.
Universitas PGRI Yogyakarta. (2024). Makna Hari Pahlawan 10 November dan Sikap Memaknainya di Era Digital. https://upgri.ac.id
UMSU Fakultas Hukum. (2024). Pertempuran Surabaya 10 November 1945: Sejarah, tujuan, dan tokohnya. https://fahum.umsu.ac.id
ANTARA News. (2024). Mengenal 7 Pahlawan Kemerdekaan dan perjuangannya. https://www.antaranews.com
