Merawat Kerukunan di Era Algoritma: WKPUB dan PWGI Audiensi dengan Kabiro Dikmental DKI Jakarta
Detik-news.com – Jakarta — Di lantai 19 Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (25/11/2025), suasana siang terasa lebih hangat dari biasanya. Wadah Komunikasi dan Pelayanan Umat Bersama (WKPUB) bersama Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) datang melakukan audiensi dengan Biro Pendidikan dan Mental Spiritual (Dikmental) Provinsi DKI Jakarta—sebuah kunjungan yang tak sekadar bersifat seremonial, tetapi membawa kegelisahan, harapan, dan semangat merawat kerukunan umat beragama di tengah derasnya arus digital.
Di ruang pertemuan itulah, Pdt. (Em.) Hosea Sudarna, S.Th., M.Si., Ketua Umum WKPUB yang juga Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama Jakarta Timur, membuka percakapan dengan nada jujur: “Kerukunan di ruang siber saat ini perlu disikapi dengan bijaksana secara bersama-sama. Ujaran kebencian, hoaks keagamaan, dan polarisasi membuat kerukunan kita terganggu,” ujarnya.
Menurutnya, tantangan digital hari ini jauh lebih rumit dari konflik fisik yang terlihat oleh mata. Ruang siber kini menjadi arena baru yang menampung intoleransi, mempercepat konflik, bahkan menciptakan ilusi bahwa perpecahan adalah sesuatu yang lumrah. “Kita memerlukan kolaborasi—tokoh agama, masyarakat, dan pemerintah—untuk merawat ruang digital agar tetap sehat,” tambahnya.
Karena itu, WKPUB menggandeng PWGI untuk menyelenggarakan Seminar Kebangsaan bertema “Peningkatan Literasi Digital dan Moderasi Kerukunan Umat Beragama”, yang akan digelar pada:
Kamis, 29 November 2025
Balai Kota Jakarta, Jl. Medan Merdeka Selatan 8–9.
“Ini bukan sekadar seminar. Ini ruang temu—tempat kita saling mendengar, berdialog, dan merawat masa depan kebangsaan,” tegas Pdt. Hosea.
Paradoks Kerukunan dan Era Algoritma
Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI), Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si., menambahkan perspektif yang lebih tajam tentang situasi hari ini. Menurutnya, Indonesia saat ini hidup dalam sebuah “paradoks kerukunan”: di permukaan terlihat harmonis, namun berbagai riset menunjukkan bahwa kebebasan beragama stagnan bahkan menurun sejak 2004.
“Konflik kita kini bergerak ke arena baru—ruang digital. Algoritma mempercepat polarisasi dan menjadikan agama sebagai komoditas politik yang sangat efektif,” tutur Dharma.
Ia mengurai beberapa faktor yang memperuncing kerentanan tersebut:
- Algoritma berbasis engagement membuat konten provokatif lebih cepat viral ketimbang klarifikasi.
- Politik identitas menemukan “panggung” paling efektif di ruang digital lewat narasi kita vs mereka.
- Konflik fisik kini kerap diawali rumor online, sementara hoaks keagamaan menyebar jauh lebih cepat daripada kemampuan negara memverifikasinya.
Dharma menegaskan bahwa seminar yang akan digelar bukan hanya peringatan Hari Toleransi Internasional, tetapi momentum untuk membangun strategi bersama: bagaimana menjaga ruang digital tetap waras dan damai.
Dikmental DKI Jakarta Sambut Positif
Kunjungan ini diterima langsung oleh Kabiro Dikmental Provinsi DKI Jakarta, Fajar Eko Satriyo, S.STP., MA, yang baru dilantik pada Mei 2025, didampingi Herman selaku Ketua Subkelompok Kegiatan Mental Spiritual.
Dalam tanggapannya, Fajar memberikan pengakuan jujur tentang tantangan yang dihadapi masyarakat:
“Era digital membawa dampak terhadap proses moderasi beragama yang kurang sehat. Media sosial perlu dikendalikan dan disikapi dengan bijak,” ujarnya.
“Hoaks keagamaan menjadi pemicu utama keretakan kerukunan. Maka, membangun pendidikan mental masyarakat adalah tugas bersama.”
Fajar dengan tegas menyatakan bahwa Biro Dikmental mendukung penuh inisiatif seminar tersebut. “Ini tanggung jawab kita semua—pemerintah dan masyarakat—untuk menjaga kerukunan antarumat beragama.”
Harapan Panitia dan Langkah Selanjutnya
Dalam audiensi itu hadir pula Julius Cezar, S.Psi. sebagai ketua panitia seminar dan Carlla Paulina Waworuntu, S.Th., M.Th. selaku bendahara. Keduanya menyampaikan harapan besar agar Kabiro Dikmental dapat hadir dan memberikan dukungan penuh pada agenda 29 November mendatang.
“Seminar ini dirancang bukan hanya sebagai wacana, tapi sebagai gerakan,” ungkap Julius.
Dengan berakhirnya pertemuan tersebut, WKPUB dan PWGI pulang membawa semangat baru: bahwa merawat kerukunan bukan pekerjaan satu pihak saja, tetapi kerja bersama seluruh elemen bangsa—termasuk ruang digital yang kini menjadi rumah kedua masyarakat Indonesia.
(Carlla Paulina/Red.***)
