Seni Itu Netral dan Bahasa Manusia
Detik-news.com – Slawi – Di antara denting biola yang lembut dan aroma kuliner yang menggoda, suasana malam itu di Jl HOS Tjokroaminoto depan Gereja Pentakosta Pusat Surabaya (GPPS) Immanuel Slawi terasa berbeda. Jumat (7/11/2025) menjadi malam yang tak hanya dirayakan dengan tawa dan cahaya, tetapi terasa harmoninya, antara rasa, nada, dan keberagaman.
Acara “Malam Bazar Kuliner dan Malam Kesenian HUT ke-60 Tjerita Rasa” ini menghadirkan berbagai penampilan seni dari komunitas lokal, salah satunya Komunitas Biola Tegalaka Ansambel Kabupaten. Di tengah semarak acara gereja, denting biola mereka membawakan lagu-lagu nasional yang menyatukan penonton dari beragam latar belakang.
“Kami dari Komunitas Biola Tegalaka Ansambel Kabupaten Tegal, menampilkan lagu-lagu nasional sebagai bentuk belajar mencintai tanah air,” ujar Istiso Likamelia, S.Pd, pengajar musik dan anggota komunitas tersebut.
“Harapannya, kami anggota komunitas dapat belajar musik melalui lagu-lagu nasional dan menanamkan rasa cinta pada bangsa tanpa sekat apa pun,” lanjutnya.
Rasa yang Menyatukan
Di tengah masyarakat yang kerap terpolarisasi oleh perbedaan keyakinan, malam itu menunjukkan bahwa seni adalah bahasa manusia yang netral. Ia tidak memilih siapa yang boleh merasakannya. Denting biola, tabuhan gendang, atau lantunan vokal memiliki kekuatan yang sama. Menyentuh hati siapa pun yang mendengar.
Istiso, seorang guru musik beragama Islam, mengaku sudah terbiasa mengajar murid dari berbagai latar belakang agama. Baginya, musik adalah ruang inklusif yang tak perlu dibatasi oleh identitas keagamaan.
“Sebagai guru musik beragama Islam yang memiliki murid kursus dari berbagai latar agama lain, saya mencoba untuk selalu memfasilitasi seluruh siswa tanpa terkecuali,” katanya.
“Kadang ada yang belajar untuk hadroh, kadang pula ada yang belajar untuk tampil di gereja. Semuanya sama saja, menjadi sebuah harmoni yang mengalun bersama.”
Toleransi dalam Nada
Tak hanya soal nada, tetapi juga soal rasa. Bagi para pelaku seni, tampil di berbagai tempat justru menjadi pengalaman yang memperkaya jiwa. Hal itu juga diakui Yermi Arnani, S.Sn salah satu anggota Komunitas Biola Tegalaka Ansambel Kabupaten Tegal.
“Sebagai orang seni, tidak masalah ketika harus tampil di tempat yang berbeda,” tutur Yermi.
“Dengan begitu, kita bisa belajar menghargai perbedaan, menambah rasa toleransi, dan memperluas wawasan. Selain itu, relasi dan pertemanan juga semakin banyak.”

Seni, Ruang yang Merangkul
Panitia HUT GPPS Immanuel sendiri membuka ruang bagi pelaku seni dan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) untuk berpartisipasi. Selain menjadi ajang perayaan ulang tahun gereja, acara ini juga menjadi wadah interaksi sosial dan ekonomi masyarakat lintas keyakinan.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada pengelola GPPS Immanuel yang telah memberi ruang bagi kami,” ujar Yermi menutup percakapan. “Seni itu rasa, dan rasa itu milik semua manusia.”
Malam itu, harmoni bukan sekadar istilah musikal. Ia menjelma menjadi kenyataan, di antara senyum, tepuk tangan, dan semangat kebersamaan. Karena sesungguhnya, seni adalah bahasa manusia yang paling universal dan paling netral (sugeng ph/Red)
