Hari Ibu Indonesia di Era Siber 2025: Dari Kongres Perempuan ke Peradaban Digital
Oleh : Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Detik-news.com – Jakarta, Setiap tanggal 22 Desember, bangsa Indonesia memperingati Hari Ibu. Bagi sebagian orang, Hari Ibu identik dengan bunga, hadiah, lomba memasak, atau sekadar ucapan manis di media sosial. Namun, di balik perayaan simbolik tersebut, Hari Ibu Indonesia sesungguhnya memiliki akar sejarah yang kuat, bermakna politis, dan kini semakin relevan dalam konteks peradaban siber tahun 2025.
Sejarah Hari Ibu: Warisan Kesadaran Kebangsaan
Berbeda dengan Mother’s Day di banyak negara yang berakar pada tradisi keluarga dan budaya populer, Hari Ibu di Indonesia lahir dari kesadaran politik dan perjuangan perempuan. Hari Ibu ditetapkan secara resmi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959, yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959.
Tanggal 22 Desember dipilih untuk memperingati Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung pada 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Para perempuan Indonesia saat itu menyatukan visi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, khususnya dalam bidang pendidikan, pernikahan, dan peran sosial, di tengah konteks kolonialisme.
Kongres ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan kelanjutan dari semangat emansipasi yang diwariskan tokoh-tokoh perempuan Indonesia seperti R.A. Kartini, Cut Nyak Meutia, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, Nyai Ahmad Dahlan, dan Rasuna Said. Dengan demikian, Hari Ibu Indonesia sejak awal bukan sekadar perayaan domestik, melainkan peringatan perjuangan kolektif perempuan dalam membangun bangsa.
Pergeseran Makna Hari Ibu di Era Modern
Seiring waktu, makna Hari Ibu mengalami pergeseran. Jika dahulu Hari Ibu dipahami sebagai simbol kesadaran berbangsa dan bernegara, kini ia lebih sering diperingati sebagai hari ungkapan cinta kepada ibu. Praktik membebastugaskan ibu dari pekerjaan domestik, pemberian hadiah, hingga berbagai lomba dan seremoni menjadi bagian dari perayaan populer.
Pergeseran ini tidak sepenuhnya keliru, namun berisiko mereduksi makna historis Hari Ibu. Ibu bukan hanya sosok yang bekerja di ranah domestik, tetapi juga aktor sosial, pendidik nilai, penggerak komunitas, bahkan pengambil keputusan di ruang publik.
Ibu dan Peradaban Siber Tahun 2025
Memasuki tahun 2025, kita hidup dalam peradaban siber—sebuah era ketika kehidupan keluarga, pendidikan, ekonomi, dan relasi sosial sangat dipengaruhi oleh teknologi digital. Dalam konteks ini, peran ibu justru semakin strategis.
Pertama, ibu kini berperan sebagai pendidik literasi digital pertama di dalam keluarga. Anak-anak tumbuh dalam dunia gawai, media sosial, kecerdasan buatan, dan arus informasi tanpa batas. Ibu tidak lagi cukup hanya mengajarkan etika sopan santun, tetapi juga nilai-nilai etik digital, seperti empati daring, verifikasi informasi, dan tanggung jawab bermedia.
Kedua, ibu berada di garis depan dalam menghadapi tantangan hoaks, disinformasi, dan kekerasan berbasis digital. Banyak riset menunjukkan bahwa ibu sering menjadi rujukan utama anak dalam menyaring informasi dan mengambil keputusan moral. Dalam masyarakat pasca-kebenaran (post-truth), peran ini menjadi sangat krusial.
Ketiga, peradaban siber membuka peluang baru bagi perempuan dan ibu untuk berdaya secara ekonomi dan sosial. Dari UMKM digital, jurnalisme warga, edukasi daring, hingga advokasi sosial berbasis media sosial, ibu tidak lagi terbatas oleh ruang fisik. Namun, peluang ini juga menuntut perlindungan, literasi, dan kebijakan publik yang berpihak pada perempuan.
Menghidupkan Kembali Roh Hari Ibu
Peringatan Hari Ibu 2025 seharusnya tidak berhenti pada seremoni. Ia perlu menjadi momentum refleksi nasional: apakah semangat Kongres Perempuan 1928 masih hidup dalam kebijakan, budaya digital, dan praktik sosial kita hari ini?
Menghormati ibu berarti:
- Mengakui peran strategis ibu dalam membentuk karakter generasi digital.
- Mendukung peningkatan literasi digital perempuan.
- Melawan stereotip yang mereduksi ibu hanya pada peran domestik.
- Menghadirkan ruang siber yang aman, adil, dan beradab bagi perempuan.
Hari Ibu bukan sekadar tentang memberi bunga, tetapi tentang menghargai perjuangan, kecerdasan, dan daya juang perempuan Indonesia—dari ruang kongres hingga ruang siber.
Penutup
Di era digital 2025, Hari Ibu menemukan relevansi barunya. Ia menjadi pengingat bahwa di balik algoritma, layar, dan jaringan internet, nilai-nilai kemanusiaan tetap ditanamkan pertama-tama oleh seorang ibu. Sebagaimana para perempuan Indonesia tahun 1928 berani merumuskan masa depan bangsa, ibu-ibu Indonesia hari ini sedang membentuk masa depan peradaban digital—dari rumah, dari layar, dan dari hati.
Daftar Pustaka
Abdullah, I. (2020). Perempuan, Budaya, dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 tentang Hari Ibu.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. (2023). Perempuan dan Transformasi Digital di Indonesia. Jakarta: KPPPA.
Nasution, S. (2018). Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
UNESCO. (2022). Digital Literacy and Women Empowerment. Paris: UNESCO Publishing.
Widianto, A. (2021). Literasi Digital Keluarga di Era Siber. Bandung: Remaja Rosdakarya.
