Polemik Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto
Oleh : Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Gereja Indonesia (PWGI)
Abstrak
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, pada 10 November 2025 memunculkan kembali perdebatan publik yang telah berlangsung sejak era Reformasi. Sebagian pihak menilai Soeharto layak memperoleh gelar tersebut karena kontribusinya terhadap stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan penguatan identitas nasional. Sebaliknya, pihak lain menolak dengan alasan kuatnya catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta represi politik pada masa Orde Baru.
Penelitian ini bertujuan mengkaji urgensi pemberian gelar tersebut dalam konteks sejarah politik Indonesia, menelaah respons masyarakat, serta merumuskan pendekatan rekonsiliatif yang diperlukan agar polemik ini tidak memperlebar jarak sosial dan luka sejarah.
Metode yang digunakan adalah kajian historis-kritis berbasis literatur akademik, dokumen sejarah, dan wacana publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian gelar ini lebih mencerminkan dinamika politik dan konstruksi memori nasional ketimbang kebutuhan masyarakat kontemporer.
Solusi yang ditawarkan adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, penulisan ulang kurikulum sejarah yang berimbang, dan ruang dialog publik yang transparan agar bangsa tidak terjebak pada glorifikasi maupun demonisasi sejarah.
Kata Kunci: Soeharto, Pahlawan Nasional, Orde Baru, Reformasi, Rekonsiliasi Sejarah, Politik Memori.
Pendahuluan
Penetapan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh sejarah selalu memiliki dimensi politik, moral, dan psikologis kolektif. Hal ini terjadi pula dalam pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto pada 10 November 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto. Soeharto merupakan figur kompleks: ia adalah pemimpin yang berhasil menata stabilitas ekonomi nasional, namun juga presiden yang memimpin rezim otoriter dengan berbagai catatan pelanggaran HAM dan praktik KKN (Aspinall & Mietzner, 2010).
Sejak runtuhnya Orde Baru tahun 1998, memori kolektif masyarakat atas Soeharto tetap terbelah. Di satu sisi, sebagian masyarakat mengingat masa Orde Baru sebagai era pembangunan, keteraturan, dan harga kebutuhan pokok yang stabil. Di sisi lain, kelompok korban dan aktivis HAM menilai bahwa pemberian gelar pahlawan adalah bentuk pengingkaran atas perjuangan Reformasi.
Penelitian ini mengkaji tiga pertanyaan utama:
- Apakah urgensi pemberian gelar tersebut berasal dari kebutuhan rakyat atau dinamika politik?
- Apa kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini terkait rekonsiliasi sejarah dan memori bangsa?
- Bagaimana solusi objektif untuk meredam polemik dan menjaga integrasi nasional?
Pembahasan
1. Urgensi Pemberian Gelar: Kebutuhan Rakyat atau Kepentingan Politik?
Pada masa Orde Baru, Soeharto membangun narasi kepahlawanan melalui stabilitas politik dan pembangunan ekonomi (Elson, 2001). Namun setelah Reformasi, narasi tersebut bergeser karena munculnya tuntutan keadilan, transparansi, dan pengungkapan pelanggaran HAM.
Pengkajian menunjukkan bahwa pemberian gelar ini lebih berkaitan dengan politik rekonsiliasi elit dan rekonstruksi memori sejarah ketimbang aspirasi masyarakat luas. Survei LSI (2023) menunjukkan publik terbelah, namun mayoritas masyarakat menyatakan “tidak prioritas” membahas gelar pahlawan; mereka lebih memprioritaskan ekonomi, pendidikan, lapangan kerja, dan stabilitas harga pangan.
Dengan demikian, urgensi pemberian gelar tidak bersifat mendesak bagi rakyat.
2. Kebutuhan Aktual Masyarakat
Alih-alih memperdebatkan gelar pahlawan, masyarakat Indonesia saat ini membutuhkan:
- Stabilitas ekonomi dan akses pendidikan yang merata.
- Reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi yang nyata.
- Penguatan rekonsiliasi sejarah melalui pengungkapan kebenaran bagi keluarga korban pelanggaran HAM.
Masyarakat membutuhkan pemulihan luka sejarah yang selama ini dibiarkan mengendap dalam diam.
3. Solusi Objektif dan Rekonsiliatif
Agar polemik tidak berlanjut dan tidak menimbulkan polarisasi sosial yang berkepanjangan, diperlukan langkah berikut:
- Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang independen dan kredibel, untuk membuka catatan sejarah secara objektif.
- Penulisan ulang kurikulum sejarah yang mempertemukan narasi Orde Baru dan Reformasi secara jujur, tidak glorifikatif, tidak pula reduksionis.
- Ruang dialog publik antara pemerintah, akademisi, keluarga korban, veteran, dan generasi muda.
- Pemisahan antara penghargaan negara dan akuntabilitas sejarah, sehingga gelar tidak menjadi alat penghapus kesalahan masa lalu.
Kesimpulan
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto merupakan isu kompleks yang berada pada persimpangan politik memori, legitimasi rezim, dan trauma sejarah. Secara formal, Soeharto memang memiliki jasa besar, tetapi rekam jejaknya juga menyimpan luka kolektif yang belum dipulihkan. Karena itu, penyikapan terbaik adalah menempatkan keputusan ini dalam kerangka rekonsiliasi jangka panjang, bukan glorifikasi sejarah maupun penolakan emosional.
Bangsa yang dewasa bukan bangsa yang melupakan sejarah, melainkan bangsa yang berani melihat sejarah secara utuh, lalu melangkah ke depan dengan kesadaran penuh.
Daftar Pustaka (APA 7th)
Aspinall, E., & Mietzner, M. (2010). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. ISEAS Publishing.
Elson, R. E. (2001). Suharto: A Political Biography. Cambridge University Press.
Hadiz, V. R. (2017). Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge University Press.
Heryanto, A. (2015). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. KPG.
Schwarz, A. (2004). A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability. Allen & Unwin.
Tapsell, R. (2017). Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution. Rowman & Littlefield.
Profil Penulis :

Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si. , adalah seorang teolog, wartawan senior, dan pegiat media digital gerejawi. Ia menyelesaikan pendidikan teologi di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, serta menempuh studi Magister Ilmu Sosial (M.Si) dengan fokus pada media dan masyarakat. Gelar Magister Theologi (M.Th.) diraih dengan tesis berjudul Teologi Digital : Sebagai Upaya Menerjemahkan Misiologi Gereja Di Era Society 5.0 dan Disertasi Doktoralnya D.Th.) yang fenomenal dengan judul : “Algorithmic Theology: A Conceptual Map of Faith in the Digital Age” dimana Dharma Leksana mengemukan Locus baru upaya kontekstualisasi berteologia yang dinamis, yang dia sebuat sebagaiTeologi Algoritma, Accordingly, this study demonstrates that algorithms constitute a new locus theologicus, and that the Logos—the Word of God—remains central to Christian faith, even amidst the algorithmic logics that govern digital reality di Sekolah Tinggi Teologi Dian Harapan Jakarta dengan predikat Cum Laude.
Disertasinya saat ini sudah dapat dibaca publik dalam versi Bahasa Indonesia dengan sebuah Buku berjudul : “Teologi Algoritma: Peta Konseptual Iman di Era Digital” (Klik tautan berikut : https://online.fliphtml5.com/syony/tujf/ dan dalam versi Bahasa Inggris berjudul : “Algorithmic Theology: A Conceptual Map of Faith in the Digital Age” (lihat tautan berikut : https://online.fliphtml5.com/syony/dhxc/ .
Sementara untuk Tesis Magister Theology juga dipublikasikan dalam buku berjudul : “Membangun Kerajaan Allah di Era Digital” dapat diakses di link berikut https://online.fliphtml5.com/syony/cosm/ dan Tesis lengkap juga dapat diakses pada link berikut : https://online.fliphtml5.com/syony/kjsk/ serta ratusan buku lain dalam bentu karya ilmiah maupun buku ilmiah popular , Kumpulan Puisi dan novel dapat diakses di TOKO BUKU PWGI yang dapat diakses melalui link berikut : https://fliphtml5.com/bookcase/xdfkj/
“Pengalaman panjangnya di bidang pewartaan dan pelayanan gereja telah membentuk komitmennya dalam membangun komunikasi iman yang kontekstual, transformatif, dan berbasis digital. Beberapa buku juga telah dia diterbitkan tentang panduan praktis menjadi wartawan gereja, sampai panduan menulis khutbah dan renungan harian.
Dharma Leksana adalah pendiri dan Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI), serta pendiri berbagai media digital Kristen, di antaranya:
• wartagereja.co.id
• beritaoikoumene.com
• teologi.digital
• marturia.digital
dan puluhan media lainnya yang tergabung dalam PT. Dharma Leksana Media Group (DHARMAEL), di mana ia menjabat sebagai Komisaris.
Ia juga menjabat sebagai:
• Direktur PT. Berita Siber Indonesia Raya (PT BASERIN)
• Komisaris PT. Berita Kampus Mediatama
• Komisaris PT. Media Kantor Hukum Online
• Pendiri dan CEO Marketplace tokogereja.com
• Ketua Umum Yayasan Berita Siber Indonesia
• Direktur PT. Untuk Indonesia Seharusnya
Sebagai pemikir dan pelaku, Dharma Leksana berkiprah sebagai jembatan antara dunia teologi, pewartaan digital, dan transformasi sosial. Ia aktif menulis buku, artikel, serta menjadi pembicara di berbagai forum gereja, media, dan akademik.
