Credit foto : https://jateng.tribunnews.com/2024/10/25/alasan-pb-xi-dan-xii-diusulkan-jadi-pahlawan-nasional-ini-perannya-untuk-kemerdekaan-indonesia
Detik-news.com – Solo, 2 November 2025 — Matahari belum tinggi ketika kabar duka itu menyebar dari balik dinding Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tepat pukul 07.29 WIB, Sri Susuhunan Paku Buwono XIII berpulang pada usia 77 tahun. Sang raja yang selama dua dekade terakhir menjadi simbol keluhuran dan penjaga warisan budaya Jawa, mengembuskan napas terakhir di RS Indriati Solo Baru, Sukoharjo.
Suasana di sekitar Kori Kamandungan, pintu utama keraton, pagi itu masih tenang. Beberapa abdi dalem tampak keluar masuk dengan langkah pelan, seolah menahan getar di dada. Belum ada karangan bunga, belum ada prosesi resmi. Di luar pagar, wisatawan masih berfoto di depan gapura keraton – tanpa menyadari bahwa di balik tembok itu, sejarah tengah menutup satu bab pentingnya.
Kabar duka pertama kali disampaikan oleh Ketua Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), Sumartono Hadinoto, sahabat dekat almarhum sejak masa muda.
“Berita duka, Sinuhun seda. Meninggal sekitar jam tujuh pagi, jenazah dibawa ambulans,” ujarnya lirih.
Tak lama berselang, juru bicara Keraton, KPA Dani Nur Adiningrat, membenarkan kabar tersebut dengan pesan singkat: “Nyuwun pandonganipun” permohonan doa dalam nada yang sarat duka.
Konfirmasi juga datang dari kerabat dalem, R.Ay Febri Hapsari Dipokusumo, yang menyampaikan hal senada, “Njih, nyuwun doanya.”
Penjaga Tradisi di Tengah Zaman yang Bergerak
Sri Susuhunan Paku Buwono XIII naik takhta pada 10 September 2004, dalam situasi yang tidak mudah. Penobatannya sempat memunculkan dinamika internal di tubuh Keraton Surakarta, hingga muncul istilah “raja kembar” setelah adiknya, KGPH Tedjo Wulan, juga menobatkan diri sebagai raja. Ketegangan itu baru mereda setelah Presiden Joko Widodo, kala itu masih Wali Kota Solo, turun tangan memediasi.
Meski perdamaian berhasil dicapai, riak-riak perbedaan di tubuh keraton tak sepenuhnya padam. Namun di tengah pusaran itu, PB XIII tetap dikenal sebagai figur yang tenang, tekun menjaga martabat budaya Jawa, dan berusaha mempertahankan eksistensi keraton di tengah arus modernitas.
Dalam beberapa kesempatan, beliau kerap berbicara tentang pentingnya melestarikan adat, bahasa, dan kesenian Jawa di era digital—sebuah pandangan yang menggambarkan keseimbangan antara tradisi dan zaman.
Keraton dan Duka yang Sunyi
Keraton Surakarta kini diliputi keheningan yang berbeda. Dari balik tembok-tembok tuanya, duka mengalun pelan seperti gamelan yang berhenti di tengah gending. Para abdi dalem masih menjalankan tugas mereka dengan khidmat, seolah menyiapkan diri menyambut upacara adat yang pasti akan digelar dengan tata cara leluhur.
Belum ada pengumuman resmi mengenai jadwal pemakaman, namun sesuai tradisi, para raja Keraton Surakarta biasanya dimakamkan di Astana Imogiri, Bantul, Yogyakarta—kompleks pemakaman para raja Mataram Islam yang telah berusia lebih dari tiga abad.
Bagi masyarakat Surakarta, wafatnya PB XIII bukan sekadar kehilangan seorang pemimpin adat. Ia adalah perpisahan dengan sosok yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini—antara keagungan tradisi dan dunia yang terus berubah.
Di tengah hiruk pikuk modernitas, kepergian sang Sinuhun mengingatkan kota Solo pada akar budayanya sendiri. Bahwa di balik segala gemerlap festival dan industri kreatifnya, kota ini berdiri di atas warisan yang dijaga oleh tangan-tangan seperti milik PB XIII. Kini, Keraton Surakarta menundukkan kepala. Di antara dupa dan doa, nama Sri Susuhunan Paku Buwono XIII akan tetap hidup—dalam ingatan masyarakat yang mengenalnya bukan hanya sebagai raja, tapi sebagai penjaga jiwa Jawa itu sendiri. (DH.L
