Dunia Ganda Manusia Digital
Resensi Buku:
Dunia Ganda Manusia Digital — Menyibak Wajah Moral Kita di Balik Layar
Judul: Dunia Ganda Manusia Digital: Perubahan Karakter dan Perilaku Sosial Akibat Disrupsi Media
Penulis: Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Penerbit: PWGI.ORG (Penerbit Mandiri)
Tahun Terbit: 2025
Jumlah Halaman: ±300 hlm
ISBN: Masih dalam proses penerbit
Harga: —
Sebuah Cermin di Tengah Ledakan Digital
Kita hidup di zaman di mana kehadiran manusia tidak lagi utuh di satu ruang. Satu jari menggulir layar di dunia maya, satu tubuh berjalan di dunia nyata. Buku Dunia Ganda Manusia Digital membuka mata tentang kondisi ganda itu: manusia yang sama bisa tampil santun di gereja atau masjid, namun kasar di kolom komentar; bisa mengutip ayat di status, namun menebar kebencian di grup tertutup.
Dr. Dharma Leksana, seorang teolog sekaligus wartawan senior, tidak menulis buku ini dengan nada penghakiman, melainkan dengan kepekaan seorang pengamat moral zaman. Ia mengajak pembaca menelusuri dunia digital sebagai ruang eksistensial baru — tempat iman, etika, dan identitas sosial terus dinegosiasikan.
Isi dan Struktur Buku
Buku ini terbagi menjadi tiga bagian besar: fondasi konseptual, analisis fenomenologis, dan arah rekonstruktif.
Bagian pertama membuka dengan pembahasan tentang dwi-eksistensi moral—fenomena di mana individu hidup dalam dua moralitas yang sering bertolak belakang. Leksana menjelaskan bahwa media sosial tidak lagi sekadar alat komunikasi, melainkan “pabrik pembentuk realitas” yang mengatur apa yang kita anggap benar, saleh, atau penting.
Bagian kedua menelusuri anatomi intoleransi digital. Di sini penulis menunjukkan bagaimana algoritma bekerja layaknya “imam tak terlihat” yang menentukan apa yang layak kita lihat dan percayai. Ia memaparkan data riset PPIM UIN Jakarta yang menunjukkan dominasi 67,2% narasi konservatif di media sosial, serta bagaimana hal itu berkorelasi dengan meningkatnya pelanggaran kebebasan beragama (KBB) di dunia nyata.
Menariknya, bagian ini tidak hanya membahas agama tertentu, melainkan pola umum: bagaimana ruang digital memupuk agresi moral, memelihara polarisasi, dan menormalisasi ujaran kebencian melalui efek echo chamber dan spiral of silence.
Bagian ketiga menawarkan jalan keluar. Melalui gagasan spiritualitas digital, penulis mengajak pembaca memulihkan keutuhan iman dan moralitas di ruang daring. Ia menekankan pentingnya literasi digital yang berbasis etika dan teologi, serta tanggung jawab bersama untuk membangun kerukunan digital — sebuah situasi di mana perbedaan tidak lagi menjadi alasan untuk memusuhi.
Kekuatan Buku Ini
- Kedalaman analisis lintas disiplin.
Buku ini menggabungkan teologi, psikologi sosial, komunikasi, dan data empiris dengan cermat. Penulis menulis bukan sebagai akademisi yang berjarak, tapi sebagai saksi langsung atas pergeseran moral di ruang digital. - Bahasa reflektif dan komunikatif.
Meski berbobot ilmiah, gaya tulisnya tetap mengalir. Pembaca awam dapat menikmati gagasan-gagasannya tanpa tersesat dalam istilah akademik. - Relevansi sosial yang tinggi.
Tema disrupsi media, ujaran kebencian, dan intoleransi digital tidak hanya aktual, tetapi mendesak untuk dipahami di tahun-tahun politik dan pasca-pandemi. - Solusi yang etis dan realistis.
Penulis tidak berhenti pada kritik, melainkan menawarkan peta konseptual menuju moderasi beragama digital, literasi etis, dan regulasi yang adil antara kebebasan dan tanggung jawab.
Kelebihan yang Membekas
Buku ini terasa penting bukan hanya bagi akademisi atau pemuka agama, tapi bagi siapa pun yang setiap hari hidup di dunia daring. Ia menuntun pembaca untuk bertanya hal-hal sederhana tapi fundamental:
“Apakah saya masih sama antara yang tampak di layar dan yang hadir di dunia nyata?”
“Apakah moral saya berubah ketika tak ada yang menatap mata saya?”
Pertanyaan semacam itu membuat buku ini bekerja seperti cermin — jujur, kadang menyakitkan, tapi menyembuhkan.
Kesimpulan
Dunia Ganda Manusia Digital bukan sekadar analisis sosial, melainkan seruan moral. Ia menantang pembaca untuk menyadari bahwa literasi digital bukan hanya urusan keterampilan, melainkan urusan iman dan kemanusiaan. Dr. Dharma Leksana berhasil menulis buku yang menyeberangi batas antara ruang akademik dan ruang publik, antara teologi dan teknologi.
Di tengah bisingnya media sosial, buku ini hadir sebagai suara jernih yang mengingatkan:
“Teknologi boleh netral, tapi pengguna tidak. Setiap klik adalah pilihan etis.”
Kata Kunci
Dunia ganda manusia digital, Dr. Dharma Leksana, teologi digital, intoleransi online, etika media sosial, spiritualitas digital, algoritma dan agama, moderasi beragama digital, literasi digital keagamaan, PWGI
Hashtag
