
Dari Biopolitik ke Algorithmic Governmentality
Michel Foucault & Antoinette Rouvroy
Oleh: Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Pendahuluan: Kuasa yang Tak Lagi Berwajah
Kita hidup di zaman di mana setiap langkah, klik, dan sentuhan layar meninggalkan jejak. Jejak itu dikumpulkan, dianalisis, dan digunakan untuk memprediksi langkah berikutnya — bahkan sebelum kita sendiri memutuskan. Kekuasaan di era digital tidak lagi hadir dalam bentuk penguasa yang mengeluarkan dekrit atau polisi yang berpatroli. Ia hadir dalam bentuk rekomendasi belanja, algoritma yang memfilter berita, dan sistem skor yang menentukan apakah kita layak menerima pinjaman.
Pertanyaannya: apa arti kuasa di era seperti ini? Bagaimana kita dapat memahaminya — dan menanggapinya — secara kritis? Dua pemikir besar memberi kita alat untuk menjawabnya: Michel Foucault, yang mengajarkan kita membaca “biopolitik” kuasa modern, dan Antoinette Rouvroy, yang memperkenalkan gagasan algorithmic governmentality — cara algoritma memerintah tanpa harus terlihat memerintah.
Artikel ini mengajak kita berjalan dari biopolitik menuju pemerintahan algoritmik, lalu mengajukan satu langkah lebih jauh: membaca fenomena ini secara profetis. Kritik bukan sekadar analisis ilmiah, tetapi juga panggilan moral — seruan untuk menegakkan keadilan di era digital.
Foucault: Kuasa yang Mengatur Kehidupan
Michel Foucault (1926–1984) adalah filsuf Prancis yang menolak memandang kuasa hanya sebagai alat penindasan dari penguasa terhadap yang diperintah. Dalam karyanya The History of Sexuality, Vol. 1 (1978), ia menunjukkan bahwa kuasa modern bekerja secara lebih produktif: ia menciptakan keteraturan, membentuk kebiasaan, dan mengatur kehidupan.
Foucault menyebut bentuk kuasa ini biopolitik: kekuasaan yang fokus pada pengelolaan kehidupan manusia. Ia bekerja di dua level:
- Level individu (anatomo-politik tubuh) — tubuh dilatih, didisiplinkan, dan dibuat produktif: sekolah mengatur jadwal belajar, rumah sakit mengatur standar kesehatan, pabrik mengatur ritme kerja.
- Level populasi (biopolitik populasi) — negara mengelola kesehatan publik, angka kelahiran, vaksinasi, sanitasi, dan semua yang memengaruhi kelangsungan hidup masyarakat.
Yang menarik, kuasa ini sering diterima sukarela. Kita patuh karena kita melihatnya masuk akal: siapa yang menolak hidup sehat, kota yang rapi, dan angka harapan hidup yang lebih tinggi? Foucault menyebut ini governmentality: seni memerintah dengan membuat orang memerintah dirinya sendiri.
Rouvroy: Pemerintahan Algoritmik
Jika Foucault hidup di zaman sensus dan statistik, Antoinette Rouvroy menulis di zaman big data. Dalam esainya yang berpengaruh, ia menjelaskan bagaimana kuasa hari ini tidak hanya mengelola populasi melalui angka, tetapi mengelola individu melalui prediksi perilaku.
Inilah yang ia sebut algorithmic governmentality: logika pemerintahan yang dilakukan oleh algoritma. Berbeda dengan hukum yang memerintah melalui larangan (“jangan lakukan X”), algoritma bekerja dengan cara mengarahkan (“Anda mungkin suka Y”) — dan sering kali kita mengikutinya tanpa sadar.
Rouvroy menggambarkan sistem ini sebagai “tiran tanpa wajah”:
- Tidak ada pejabat yang secara sadar memerintah.
- Tidak ada niat jahat yang eksplisit.
- Namun keputusan-keputusan yang dihasilkan — dari skor kredit, iklan yang kita lihat, hingga rekomendasi video — membentuk realitas hidup kita.
Kita hidup dalam ekosistem di mana masa depan kita dihitung dalam bentuk probabilitas, dan pilihan kita diarahkan oleh pola-pola yang dipelajari mesin dari data masa lalu.
Dari Normalisasi ke Prediksi
Salah satu wawasan penting Foucault adalah konsep normalisasi: bagaimana kuasa membentuk standar tentang apa yang dianggap normal, sehat, atau wajar. Di era algoritma, proses normalisasi ini menjadi jauh lebih canggih.
Platform digital mengumpulkan miliaran data perilaku, lalu membangun model statistik tentang apa yang “normal” bagi seseorang seperti kita. Rekomendasi konten YouTube, playlist musik Spotify, bahkan iklan yang muncul di media sosial adalah cara sistem menuntun kita menuju perilaku yang diprediksi akan kita sukai — atau menguntungkan bagi pengiklan.
Hasilnya: kita bukan lagi hanya “subjek hukum”, melainkan vektor data. Identitas kita dibaca bukan dari apa yang kita katakan, tetapi dari pola klik, lokasi, dan durasi tonton. Masa depan kita dirancang dalam bentuk prediksi — dan sering kali prediksi itu menjadi nubuat yang menggenapi dirinya sendiri.
Implikasi Sosial: Kebebasan yang Dipandu
Peralihan dari biopolitik ke pemerintahan algoritmik membawa implikasi etis yang serius.
- Pengawasan menjadi tak terlihat. CCTV membuat kita sadar diawasi. Algoritma bekerja diam-diam: kita bahkan tidak sadar bahwa urutan konten yang kita lihat adalah hasil kurasi mesin.
- Kontrol semakin individual. Statistik negara bekerja pada level populasi; algoritma mempersonalisasi setiap pengalaman. Dua orang bisa hidup di dunia digital yang sama sekali berbeda.
- Regulasi menjadi implisit. Tidak ada larangan eksplisit, hanya desain yang membuat pilihan tertentu lebih mudah dan yang lain lebih sulit.
Kebebasan kita tidak hilang secara frontal — ia dipandu pelan-pelan. Dan karena proses ini berlangsung tanpa paksaan, kita jarang mempertanyakannya.

Membaca Secara Profetis: Dari Analisis ke Seruan Moral
Di titik inilah kritik perlu melampaui deskripsi akademis. Analisis Foucault dan Rouvroy memberi kita kacamata untuk melihat, tetapi kita juga perlu telinga untuk mendengar seruan moral: apakah struktur ini adil? Siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan?
Dalam teologi sosial, ada istilah dosa struktural: ketidakadilan yang tertanam dalam sistem sosial, bukan hanya kesalahan individu. Pemerintahan algoritmik dapat menjadi bentuk dosa struktural baru — karena ia dapat mengunci ketimpangan, memperkuat bias, dan meniadakan akuntabilitas.
Membaca secara profetis berarti:
- Mengungkap apa yang disembunyikan sistem.
- Membela mereka yang terdampak paling parah (mereka yang datanya dipakai tanpa persetujuan, atau yang aksesnya dibatasi oleh algoritma).
- Menyerukan transparansi, keadilan, dan akuntabilitas dari pembuat platform.
Ini adalah tugas profetis: bukan hanya memahami kuasa, tetapi menuntut pertobatan dari sistem yang tidak adil.
Contoh Nyata: Ketika Algoritma Menentukan Hidup
Mari ambil contoh sederhana: sistem penyaluran bantuan sosial berbasis algoritma. Di beberapa negara, pemerintah menggunakan data digital untuk menentukan siapa yang layak menerima bantuan. Algoritma dipuji karena efisien. Namun di lapangan, ada warga yang justru kehilangan bantuan karena data mereka tidak lengkap atau salah terbaca.
Siapa yang bertanggung jawab? Pegawai lapangan? Programmer yang menulis kode? Menteri yang menandatangani kebijakan? Jawabannya sering kabur — inilah problem “tiran tanpa wajah” yang dikritik Rouvroy.
Kritik profetis akan berkata: teknologi boleh efisien, tetapi harus adil. Keputusan yang memengaruhi hidup manusia tidak boleh menjadi kotak hitam yang tak bisa dipertanyakan.

Jalan Ke Depan: Literasi Profetis
Menghadapi kuasa algoritmik, kita tidak cukup hanya menjadi “konsumen cerdas”. Kita perlu mengembangkan literasi profetis: kemampuan membaca teknologi dengan mata kritis dan hati yang peka keadilan.
Beberapa langkah awal yang bisa dilakukan:
- Pendidikan komunitas. Gereja, sekolah, dan organisasi masyarakat dapat mengadakan kelas literasi digital yang mengajarkan cara kerja algoritma dan dampaknya.
- Audit sederhana. Komunitas dapat mengamati bagaimana platform memengaruhi pola pikir atau perilaku anggotanya (misalnya, apakah berita yang muncul cenderung memecah belah?).
- Advokasi kebijakan. Menuntut regulasi yang memastikan transparansi algoritma dan perlindungan privasi pengguna.
- Praktik spiritual. Mengajarkan detoks digital, jeda dari arus rekomendasi, dan menghidupkan kembali kemampuan membuat keputusan bebas.
Dengan cara ini, kritik ideologi digital bukan hanya teori, tetapi langkah nyata yang menolong masyarakat hidup lebih adil di tengah dunia yang dikendalikan data.
Penutup: Seruan Profetis di Era Digital
Dari Foucault kita belajar bahwa kuasa modern mengatur kehidupan, dari Rouvroy kita belajar bahwa di era digital kuasa itu menjadi otomatis dan prediktif. Namun kita tidak boleh berhenti di sana.
Kritik profetis memanggil kita untuk berbicara — bahkan melawan arus — demi mereka yang tidak memiliki suara. Di tengah algoritma yang menentukan apa yang kita lihat, kita perlu mencari kebenaran yang tidak dipilihkan untuk kita. Di tengah logika prediksi, kita perlu membela kemungkinan yang tak terduga: kebebasan, keadilan, dan kasih.
Mungkin tugas kita hari ini mirip tugas nabi-nabi kuno: menegur “berhala” zaman ini, yaitu keyakinan buta pada netralitas teknologi. Algoritma bisa menjadi alat yang baik, tetapi ia bukanlah penentu terakhir hidup kita. Dengan kesadaran kritis dan semangat profetis, kita dapat menata kembali dunia digital — agar ia melayani manusia, bukan memperbudaknya.
Kata Kunci: biopolitik, algorithmic governmentality, Michel Foucault, Antoinette Rouvroy, kuasa digital, dosa struktural, kritik profetis, literasi digital,
# biopolitik, #AlgorithmicGovernmentality, #MichelFoucault, #AntoinetteRouvroy, #KuasaDigital, #DosaStruktural, #KritikProfetis, #LiterasiDigital #DharmaLeksana
References
- Foucault, M. (1978). The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction. New York: Pantheon Books.
- Rouvroy, A. (2021). “Algorithmic Governmentality: Understanding the Power of Algorithms.” In Critical Data Studies Reader.
- Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York: PublicAffairs.
- Noble, S. (2018). Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism. New York: NYU Press.
- Couldry, N. & Mejias, U. (2019). The Costs of Connection: How Data Is Colonizing Human Life and Appropriating It for Capitalism. Stanford: Stanford University Press.
- O’Neil, C. (2016). Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy. New York: Crown.