
Resensi buku :
Judul : Meramal Homo Spiritus Digitalis: Tiga Skenario Masa Depan
Penulis : Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Penerbit : PWGI.ORG
Jenis Buku : e-book
Tahun : 2025
Meramal Diri di Era Algoritma
Di tengah gelombang pesat perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), Dr. Dharma Leksana hadir dengan sebuah undangan reflektif melalui bukunya, “Meramal Homo Spiritus Digitalis: Tiga Skenario Masa Depan.”
Buku ini bukan sekadar manual teknis tentang AI, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan filsafat eksistensialisme, refleksi teologis, dan sains untuk menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana manusia tetap menjadi manusia saat mesin mulai ikut menentukan hidup kita?
Buku ini berangkat dari sebuah fenomena nyata yang mengejutkan: pengangkatan AI sebagai menteri di Albania. Peristiwa ini menjadi titik tolak bagi penulis untuk menelusuri bagaimana kepercayaan manusia terhadap algoritma tumbuh begitu cepat dan dampaknya terhadap peran, identitas, bahkan spiritualitas kita. Leksana dengan cerdas membawa pembaca melalui delapan bab yang terstruktur, mulai dari kasus “menteri AI” hingga peran manusia sebagai “kurator makna” di era digital.
Salah satu gagasan sentral yang diusung adalah konsep “Homo Spiritus Digitalis”—sebuah identitas manusia yang tidak hanya hidup dari notifikasi, melainkan menggunakan teknologi sebagai cermin untuk menemukan makna yang lebih dalam. Penulis mengajak kita untuk menyadari bahwa kita semua, sedikit banyak, telah menjadi cyborg—makhluk hibrida antara manusia dan mesin. Batas antara “aku” dan “alatku” menjadi kabur ketika ponsel pintar menjadi perpanjangan memori dan identitas kita.
Dharma Leksana tidak hanya menyajikan tantangan, tetapi juga menawarkan perspektif harapan. Ia menekankan bahwa di era algoritma, peran manusia justru menjadi semakin penting. Kita dipanggil bukan untuk menjadi mesin yang lebih cepat, tetapi untuk menjadi makhluk yang lebih bijaksana. Peran baru manusia adalah sebagai kurator makna, penafsir moral, dan mediator antara logika mesin dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan dan belas kasih.
Dari sudut pandang teologis, buku ini adalah terobosan. Penulis, yang juga seorang teolog, memperkenalkan gagasan “Teologi Algoritma”—bahwa algoritma dapat dipahami sebagai locus theologicus (tempat kehadiran Allah) yang baru, sementara Logos (Sabda Allah) tetap menjadi pusat iman. Ini adalah upaya relevan untuk menafsirkan kembali iman Kristen di tengah realitas digital. Buku ini secara lugas mengingatkan kita bahwa meskipun keputusan moral mulai diambil oleh sistem otomatis, kita harus menjaga imago Dei (citra Allah) dalam diri manusia yang memuat kapasitas rasional, moral, dan spiritual.
Dengan gaya penulisan yang memadukan cerita, filsafat, dan teologi, buku ini sangat relevan bagi siapa pun yang bergumul dengan eksistensi di dunia digital, baik dari kalangan akademisi, profesional, jurnalis, maupun umat beragama. Buku ini adalah ajakan untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi pasif, tetapi juga menjadi pencipta masa depan digital yang lebih manusiawi.
Hashtag Media Sosial: