
RUU Perampasan Aset: Harapan, Risiko, dan Etika di Balik “Senjata Pamungkas” Antikorupsi
Oleh: Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Pendahuluan: Antara Harapan dan Kecurigaan
RUU Perampasan Aset (RUU PA) kembali menjadi sorotan publik. Desakan agar regulasi ini segera disahkan menggema, terutama dari kelompok antikorupsi yang menuntut negara bertindak lebih tegas terhadap koruptor. Ide besarnya menggoda: “memiskinkan koruptor” agar praktik korupsi kehilangan daya tarik. Namun, di balik harapan itu, mengintai risiko serius—baik secara etis maupun politik—jika rancangan ini diloloskan tanpa koreksi substansial.
RUU PA memberi kewenangan negara merampas aset yang terkait tindak pidana tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB) ini dikenal dalam literatur sebagai pendekatan in rem, yang berfokus pada benda (aset), bukan pada orang. Di atas kertas, ini efektif untuk kasus-kasus di mana pelaku meninggal dunia, melarikan diri, atau identitasnya tidak diketahui. Namun, dari sudut pandang etika, langkah ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita siap mengorbankan hak asasi seseorang demi efektivitas penegakan hukum?
RUU PA dalam Lanskap Penegakan Hukum yang Rapuh
Analisis KKN menunjukkan bahwa kelemahan sistem hukum dan budaya impunitas merupakan akar masalah utama korupsi di Indonesia. Dengan vonis korupsi yang cenderung ringan (1–4 tahun), intervensi politik dalam penegakan hukum, dan koordinasi antar lembaga yang lemah, publik cenderung skeptis apakah RUU PA akan menutup celah atau justru membuka peluang baru bagi penyalahgunaan wewenang.
RUU PA memberi kewenangan luar biasa kepada aparat penegak hukum: merampas aset hanya dengan pembuktian perdata dan standar beban pembuktian yang lebih longgar. Secara pragmatis, ini mempercepat pemulihan kerugian negara. Namun, di negara yang sistem hukumnya belum sepenuhnya bebas dari tekanan politik, langkah ini rawan menjadi alat kriminalisasi lawan politik atau perampasan aset yang tidak adil.
Dimensi Etis: Antara Kepentingan Umum dan Perlindungan Hak
Etika publik menuntut keseimbangan antara dua nilai fundamental: kepentingan umum (mengembalikan aset hasil kejahatan ke kas negara) dan perlindungan hak individu (hak atas kepemilikan dan asas praduga tak bersalah).
Jika negara terlalu agresif, muncul risiko pelanggaran hak properti dan keadilan prosedural. Jika negara terlalu lunak, publik kehilangan kepercayaan pada hukum karena koruptor tetap hidup nyaman dari hasil kejahatannya.
Dari perspektif etika kebajikan (virtue ethics), pengesahan RUU PA harus memastikan aparat penegak hukum bertindak dengan prudence (kebijaksanaan) dan justice (keadilan), bukan sekadar dengan kekuasaan yang luas. Dalam kerangka etika deontologis, negara tetap wajib menghormati hak-hak warga, bahkan yang diduga bersalah.
Kritik Substansial: Batasan Aset dan “Unexplained Wealth”
Salah satu poin paling kontroversial adalah ketentuan mengenai unexplained wealth—kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan. Secara moral, publik tentu mendukung transparansi harta pejabat publik. Namun, tanpa mekanisme pembuktian yang ketat dan transparan, aturan ini bisa berubah menjadi perburuan penyihir.
Selain itu, ketentuan Pasal 6 yang membolehkan perampasan aset untuk tindak pidana dengan ancaman 4 tahun atau lebih terlalu luas. Ini berpotensi menyeret kasus-kasus yang sebenarnya bukan kategori extraordinary crime ke dalam mekanisme perampasan cepat.
Solusi Etis: Menjaga Akuntabilitas dan Mencegah Penyalahgunaan
Untuk memastikan RUU PA tidak menjadi sumber ketidakadilan baru, beberapa prinsip etis dapat dipegang:
- Prinsip Proporsionalitas
Mekanisme perampasan harus dibatasi hanya untuk kejahatan serius: korupsi, narkotika, pencucian uang, dan kejahatan transnasional lain yang benar-benar merugikan kepentingan publik. - Penguatan Checks and Balances
Kewenangan jaksa dan aparat perlu diimbangi dengan pengawasan pengadilan yang independen. Mekanisme banding yang efektif dan transparan wajib ada untuk mencegah penyalahgunaan. - Transparansi dan Partisipasi Publik
Publik harus dapat mengakses data perampasan aset, sehingga pengelolaan aset rampasan oleh negara tidak menjadi lahan korupsi baru. - Integrasi dengan Reformasi Sistemik
RUU PA harus menjadi bagian dari strategi besar pemberantasan KKN: reformasi birokrasi, perbaikan kesejahteraan aparat, dan pendidikan antikorupsi. Tanpa itu, efek jera hanya semu.
Kesimpulan: Menuju Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
RUU PA adalah pedang bermata dua: ia bisa menjadi tonggak bersejarah pemberantasan korupsi atau justru alat represif baru. Kuncinya ada pada desain regulasi yang cermat, integritas aparat, dan keterbukaan kepada publik.
Etika publik mengajarkan bahwa hukum bukan hanya tentang menghukum yang bersalah, tetapi juga menjaga martabat kemanusiaan setiap orang. Jika prinsip itu dijaga, RUU PA dapat menjadi jembatan menuju tata kelola yang lebih bersih dan adil—bukan sekadar instrumen balas dendam sosial.
#RUUPerampasanAset,
#EtikaHukum,
#PemberantasanKorupsi,
#NonConvictionBasedForfeiture,
#HakAsasiManusia,
#ReformasiHukum,
#TransparansiPublik,
#AsetRampasan,
#GoodGovernance,
#AntiKorupsi,
#UnexplainedWealth,
#PradugaTakBersalah,
#ReformasiBirokrasi,
#HukumAdil,
#IntegritasNegara,
#RUUPA,
#EtikaHukum,
#Korupsi,
#AntiKorupsi,
#HakAsasi,
#HukumAdil,
#ReformasiHukum,
#Transparansi,
#GoodGovernance,
#UnexplainedWealth,