
Wartawan Versus Algoritma
Detik-news.com – Jakarta, Malam merangkak pelan di beranda rumahku, diwarnai rona jingga yang memudar. Aroma kopi dan kretek beradu, menciptakan simfoni khas obrolan larut. Dua bayangan familiar duduk di depanku: Pak Tua, pensiunan yang suaranya selalu sarat kebijaksanaan, dan si Gondrong, wartawan lepas dengan tatapan mata yang sering menyimpan lelah. Topik kami, seperti biasa, bermuara pada pusaran yang tak pernah sepi: jurnalisme.
Pak Tua menghela napas, asap rokok mengepul tipis dari bibirnya. “Berita sekarang, Dhe,” panggilnya padaku, “ibarat kerupuk. Bunyi nyaring, tapi begitu digigit, kosong melompong. Judulnya bak petasan, menggelegar, tapi isinya cuma remah-remah. Wartawan kini cuma jadi tukang fotokopi rilis, bahkan tak jarang cuma ‘paste’ dari unggahan media sosial. Di mana nyawanya?” Desahnya, lebih seperti umpatan pelan.
Aku tersenyum tipis, “Baru sadar, Pak Tua?”
Gondrong tertawa getir. Tawa yang tak sampai ke mata, melainkan hanya getaran pahit di tenggorokannya. “Mau bagaimana lagi, Mas? Dulu kami memang idealis. Sekarang, kebanyakan kawan saya cuma cari aman. Atau cari cuan.”
Aku diam. Bukan karena tak setuju, melainkan karena enggan ikut menimpali. Di balik retorika klise tentang “media adalah entitas bisnis,” aku melihat realitas yang lebih brutal: wartawan juga manusia. Mereka punya tagihan yang mencekik, anak-anak yang menuntut pendidikan, orang tua yang renta dan butuh pengobatan. Hidup, sialnya, tak bisa dibayar hanya dengan gagasan mulia atau keberanian yang membara.
Dulu, kami memercayai bahwa wartawan adalah penjaga gawang demokrasi, benteng terakhir kebenaran. Namun, belakangan, keluhan itu semakin sering terdengar dari dalam benteng itu sendiri.
“Berita bagus tidak laku, Pak.”
“Tulisan mendalam tidak dibaca, Bos.”
“Kalau tidak sesuai algoritma, ya tenggelam.”
Akhirnya, banyak punggawa media yang terpaksa memilih jalan pintas: menulis apa yang disukai mesin, bukan apa yang dibutuhkan masyarakat. Mereka menyerah pada dikte tanpa wajah yang disebut algoritma.
Apakah ini salah? Jujur, aku tak tahu pasti. Sebagai seseorang yang pernah menghabiskan bertahun-tahun bermalam di ruang redaksi yang sesak, bau rokok, dan pengap, aku tahu betul bagaimana rasanya menggigil di lapangan, berburu berita yang akhirnya tak dimuat. Aku tahu pedihnya melihat teman-teman dipecat hanya karena menolak mengubah narasi, menolak melayani kepentingan sang juragan. Aku pun tahu kisah-kisah media kecil yang terpaksa menutup pintu, kalah oleh idealisme yang tak bisa membayar sewa gedung.
Namun, di sela-sela kegelapan itu, aku juga tahu: masih ada wartawan yang berani jujur. Mereka yang gelisah ketika kebenaran dimanipulasi. Mereka yang mencoba menyisipkan sepotong kebenaran, bahkan jika hanya dalam satu paragraf yang terselip. Mereka yang menolak menjual nurani, meski harga yang ditawarkan menggiurkan.
Aku tak ingin menghakimi. Aku hanya ingin mengajak kita semua untuk mengerti.
Di balik berita yang terasa hampa, bisa jadi ada penulis yang terpaksa bungkam, demi bisa terus menafkahi keluarganya. Di balik judul sensasional, mungkin ada editor yang lelah berdiskusi panjang, tapi tetap kalah oleh kuasa algoritma yang tak terbantahkan. Kita sering menuntut wartawan untuk terus berani, namun lupa bahwa keberanian pun butuh ruang untuk hidup. Kita murka ketika berita terasa palsu, tapi pernahkah kita bertanya, siapa yang bersedia membayar untuk yang asli?
Aku tidak sedang membela yang salah. Aku hanya ingin kita menilai dengan lebih jernih. Media kita memang sedang sakit, terinfeksi virus pragmatisme dan algoritma. Namun, jangan buru-buru menyalahkan semua “perawatnya.” Sebagian dari mereka masih bertahan bukan karena nyaman, bukan karena tak punya pilihan lain, tapi karena cinta. Cinta pada profesi, cinta pada kebenaran, cinta pada masyarakat yang—entah bagaimana—masih mereka yakini.
Dan cinta itu, kadang bentuknya bukan teriakan lantang, tapi gumaman lirih. Bukan revolusi besar-besaran, tapi ketekunan yang tak kenal lelah. Bukan headline mencolok, tapi satu dua kalimat jujur yang berhasil lolos dari sensor ketat algoritma.
Jika hari ini media kita terasa kelelahan, barangkali karena terlalu lama dipaksa melayani dua tuan: kebenaran dan keuntungan. Dan di tengah tarik-menarik yang kejam itu, kita semua—jurnalis dan pembaca—harus memilih: mau terus mengutuk dari jauh, atau ikut menjaga nyala api yang masih tersisa?
Gondrong menyeruput kopi dinginnya, matanya menerawang jauh. “Karena mereka juga punya anak, Bung,” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam oleh desau angin malam. “Tapi bukan berarti mereka tak punya hati.”
Malam itu, di balik jendela berita yang buram, kami semua merenung. Tentang harga sebuah kebenaran, dan beban sebuah idealisme di era algoritma yang tak berhati.
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.