
Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Detik-news.com – Jakarta, Dalam perkembangan ilmu teologia Kristen modern, riset ilmu pengetahuan semakin berperan penting. Riset tidak hanya menjadi alat bantu untuk memahami teks-teks suci atau sejarah gereja, tetapi juga telah memasuki wilayah yang lebih dalam, yaitu pembentukan doktrin dan praktik teologis. Namun, integrasi riset ilmu pengetahuan ke dalam teologia Kristen tidaklah tanpa potensi masalah. Artikel ini akan membahas bagaimana riset ilmu pengetahuan, yang seharusnya menjadi alat untuk memperkaya pemahaman iman, dapat berubah menjadi instrumen dominasi dalam wacana teologia Kristen.
Otoritas Ilmu Pengetahuan dan Teologia Kristen
Ilmu pengetahuan modern, dengan metodologi yang ketat dan klaim objektivitas, memiliki otoritas yang kuat dalam masyarakat kontemporer. Ketika otoritas ini diterapkan dalam konteks teologia Kristen, ia dapat menghasilkan legitimasi baru bagi doktrin atau praktik tertentu. Riset ilmu pengetahuan, seperti studi sosiologi agama, psikologi agama, atau bahkan neuroteologi, menawarkan cara untuk “menguji” atau “membuktikan” kebenaran klaim teologis melalui data empiris dan analisis rasional.
Namun, penggunaan riset ilmu pengetahuan dalam teologia Kristen juga membawa risiko. Salah satu risiko utama adalah potensi untuk reduksionisme. Ketika teologia terlalu bergantung pada riset ilmu pengetahuan, ada kecenderungan untuk mereduksi kompleksitas iman dan pengalaman spiritual menjadi kategori-kategori yang dapat diukur dan dianalisis secara ilmiah. Aspek-aspek iman yang transenden, misterius, atau bersifat subjektif mungkin terabaikan atau dianggap kurang valid karena tidak dapat diverifikasi secara empiris.
Riset sebagai Alat Legitimasi dan Marginalisasi
Riset ilmu pengetahuan dapat digunakan untuk melegitimasi pandangan teologis tertentu sambil memarjinalkan pandangan lainnya. Misalnya, penelitian yang menunjukkan korelasi positif antara praktik keagamaan tertentu dengan kesehatan mental dapat digunakan untuk mendukung teologi yang menekankan manfaat psikologis dari iman. Sebaliknya, pandangan teologis yang tidak sejalan dengan temuan riset semacam itu dapat dianggap kurang relevan atau bahkan tidak valid dalam konteks modern.
Selain itu, metodologi riset ilmu pengetahuan seringkali dibangun di atas asumsi-asumsi filosofis tertentu yang mungkin tidak sepenuhnya kompatibel dengan asumsi-asumsi teologis Kristen. Misalnya, penekanan pada objektivitas dan netralitas nilai dalam riset ilmu pengetahuan dapat bertentangan dengan sifat iman yang melibatkan komitmen subjektif dan nilai-nilai normatif. Ketika metodologi riset ilmu pengetahuan diterapkan secara tidak kritis dalam teologia Kristen, ia dapat secara tidak sadar mengimpor asumsi-asumsi yang mereduksi atau mendistorsi esensi iman Kristen.
Dominasi Epistemologis dan Metodologis
Dominasi riset ilmu pengetahuan dalam teologia Kristen juga dapat terwujud dalam bentuk dominasi epistemologis dan metodologis. Ketika riset ilmu pengetahuan dianggap sebagai satu-satunya cara yang valid untuk menghasilkan pengetahuan teologis yang “benar” atau “relevan”, bentuk-bentuk pengetahuan teologis lainnya, seperti refleksi kontemplatif, tradisi gereja, atau pengalaman spiritual pribadi, dapat terpinggirkan.
Selain itu, penekanan pada metodologi riset ilmu pengetahuan yang ketat dapat mengarah pada spesialisasi dan fragmentasi dalam ilmu teologia Kristen. Riset seringkali dilakukan dalam bidang-bidang yang sangat spesifik dan teknis, yang dapat membuat wacana teologia menjadi semakin terpisah dari kehidupan konkret gereja dan kebutuhan umat beriman. Teologia yang terlalu fokus pada riset ilmu pengetahuan mungkin kehilangan relevansinya bagi komunitas iman yang lebih luas.
Etika Penggunaan Riset dalam Teologia Kristen
Penting untuk menegaskan bahwa riset ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang intrinsik buruk atau bertentangan dengan iman Kristen. Riset dapat memberikan wawasan yang berharga dan memperkaya pemahaman kita tentang berbagai aspek iman dan kehidupan manusia. Namun, penggunaan riset ilmu pengetahuan dalam teologia Kristen harus dilakukan secara etis dan bertanggung jawab, dengan memperhatikan beberapa prinsip berikut:
- Kritik Diri dan Refleksi Teologis: Para teolog Kristen perlu secara kritis merefleksikan asumsi-asumsi epistemologis dan metodologis yang mendasari riset ilmu pengetahuan. Mereka harus menyadari potensi bias dan keterbatasan riset, serta memastikan bahwa riset digunakan untuk memperkaya, bukan mereduksi, iman Kristen.
- Keseimbangan dengan Sumber Teologis Lain: Riset ilmu pengetahuan harus dilihat sebagai salah satu sumber pengetahuan teologis, tetapi tidak boleh menggantikan atau mendominasi sumber-sumber teologis lainnya, seperti Alkitab, tradisi gereja, dan pengalaman iman. Teologia Kristen yang sehat adalah teologia yang mampu mengintegrasikan berbagai sumber pengetahuan secara harmonis.
- Relevansi bagi Komunitas Iman: Riset teologia Kristen harus tetap relevan dan bermanfaat bagi komunitas iman yang lebih luas. Teologia tidak boleh hanya menjadi wacana akademis yang terisolasi, tetapi harus mampu memberikan panduan dan inspirasi bagi kehidupan iman umat Kristen.
- Kerendahan Hati dan Keterbukaan: Para teolog Kristen harus menggunakan riset ilmu pengetahuan dengan kerendahan hati dan keterbukaan terhadap perspektif lain. Mereka harus menyadari bahwa kebenaran teologis tidak dapat direduksi menjadi temuan riset empiris semata, dan bahwa misteri iman selalu melampaui pemahaman rasional kita.
Riset ilmu pengetahuan memiliki potensi yang signifikan untuk memperkaya ilmu teologia Kristen. Namun, potensi ini juga disertai dengan risiko dominasi, reduksionisme, dan marginalisasi bentuk-bentuk pengetahuan teologis lainnya. Untuk menghindari risiko ini, teologia Kristen perlu mengembangkan pendekatan yang kritis, seimbang, dan etis dalam menggunakan riset ilmu pengetahuan. Riset harus dilihat sebagai alat bantu yang berharga, tetapi tidak boleh menjadi instrumen dominasi yang mereduksi atau mendistorsi esensi iman Kristen. Teologia Kristen yang sejati adalah teologia yang mampu berdialog secara kritis dan konstruktif dengan ilmu pengetahuan, sambil tetap setia pada sumber-sumber iman dan relevan bagi kehidupan komunitas iman.